Masjidil Haram dalam Bingkai
Sepulang dari ibadah haji tahun 2011 orang tuaku meminta agar
foto keduanya sewaktu beribadah haji dicetak. Satu berlatar Kabah sedangkan
satunya lagi berlatar menara jam Royal Hotel Mekah. Tidak cukup di situ. Seperti
rerata orang pulang dari berhaji atau umroh, ada bermacam oleh-oleh bernuansa “Haji.”
Di antaranya dua buah poster foto bergambar Masjid al Haram (Masjidil Haram)
dan Masjid Nabawi kurang lebih berukuran A2. Dua poster ini lalu dibingkai kayu bercat keemasan dengan kaca dan lampu
fluorescent di baliknya, sehingga ketika
saklar dinyalakan, kedua masjid ini akan tampak bercahaya. Masing-masing foto
dan poster berbingkai itu dipajang pada dinding ruang tamu dan ruang tengah. Biaya
pembingkaian serta instalasi tidak bisa dibilang murah, namun pemajangannya
yang ada di “ruang privat namun publik” agaknya menyiratkan suatu hal yang sepadan.
Aku berhaji maka aku ada |
Jelas sulit menghindari kesan ingin pamer bahwa “diriku ini
sudah berhaji.” Tapi bukankah praktik serupa telah lama dilakukan? Bahkan sejak
teknologi foto masih menggunakan kamera analog atau malah sejak teknologi
fotografi belum akrab dipakai masyarakat. Misalnya orang suka menunjukkan album
foto diri yang berpose di depan suatu bangunan terkenal atau tempat wisata di
kota lain atau luar negeri kepada tamu, foto wisuda, atau memajang piala dan
medali buah prestasi tertentu, hingga memajang suvenir khas (uang kertas,
gantungan kunci, miniatur rumah adat) dari daerah tertentu pada meja/bupet
ruang tamu, termasuk membentangkan karpet/permadani raksasa bergambar Masjidil
Haram di dinding. Benda-benda material tersebut fungsinya telah melebihi fungsi
mereka yang pada awalnya dimaksudkan sebagai penghias ruang, menjadi tanda yang
dikonsumsi dan dikomunikasikan citranya oleh tuan rumah bersama dengan para
tamu.
Masyarakat spectacle,
begitu Debort (2002) menyebutnya. Adalah ketika relasi sosial antar manusia
dimediasi oleh imaji, yaitu sebuah cara pandang masyarakat terhadap dunia yang kian
dimaterialisasikan. Pada masyarakat spectacle
konsumsi atas citra didorong untuk menunjang produksi barang komoditas.
Perasionalan atas tindakan konsumsi tumbuh dalam iklim demi pengidentifikasian
diri di tengah kehidupan sosial. Debort menyebut ada permainan sistem
standardisasi oleh kapitalis untuk mengendalikan masyarakat. Sehingga mereka
menjadi patuh bahkan bangga dalam perannya sebagai konsumen. Kehidupan bukan
sekedar dinilai dari kepemilikan namun juga pada pemameran atau mempertontonkan
status diri.
Berdasar pemaparan Debort, dapatlah disampaikan bahwa
perilaku orang-orang yang telah menjalani ibadah haji tak lepas dari apa yang
didefinisikan sebagai spectacle, di
mana melalui benda-benda seperti poster foto Masjidil Haram dan foto diri di
depan Masjidil Haram, mata uang Saudi Riyal, suvenir pintu Kabah, dan permadani bergambar Masjidil Haram di ruang
tamu, orang yang pulang dari berhaji sudah mengonsumsi citra dengan
memperantarai hubungan sosial dirinya lewat benda-benda itu (termasuk orang
tuaku di dalamnya).
Sisi sosiologi sebuah benda (seni) mengungkapkan bahwa suatu
benda tidak lepas dari konteks sosialnya (Zolberg, 1990:9). Poster dan foto
diri bersama masjid ini berkaitan dengan ibadah haji itu sendiri sebagai bagian
dari tuntunan agama sekaligus tuntutan sosial.
Ibadah haji adalah pilar yang terakhir kali disebut dalam
Rukun Islam. Ibarat bangunan maka ia adalah proses dan “tanda” dalam menggapai
kesempurnaan status seorang muslim di mata masyarakat (dan Tuhannya), dan konon
karena beratnya perjalanan haji maka orang Islam cukup melakukan setidaknya
satu kali seumur hidup, itupun bila mampu. Beratnya ibadah haji, terutama di
masa ketika perjalanan ke tanah Arab dari wilayah Nusantara/Indonesia hanya
bisa melalui jalur laut dan darat yang memakan waktu bulanan hingga tahunan,
mendorong pemberian gelar “haji” oleh masyarakat setelah orang yang berhaji
kembali ke negerinya. Perjalanan sedemikian berat dari rentang sejarah berimbas
pada kepercayaan bahwa orang yang mampu berhaji (karena dianjurkan hanya sekali
seumur hidup), pastilah orang yang berada secara finansial (walaupun keyakinan
semacam ini bisa saja dibantahkan). Gelar “haji” tidak lagi cukup melegitimasi diri
karena gelar haji sudah menjelma kode sosial pelengkap ke-Islam-an, maka oleh-oleh
berujud fisik menggantikannya sebagai bukti otentik bahwa yang baru saja pulang
sungguh datang dari tanah suci. Proses sosial demikianlah yang membentuk kebutuhan
pada konsumsi tanda, konsumsi demi melayani status ke-haji-annya.
Tentu saja gambar, foto, hingga karya kriya/seni berbagai bahan
dan rupa yang menampilkan Masjidil Haram lengkap dengan Kabahnya dapat dengan
mudah diperoleh di dalam negeri. Tetapi dengan membeli poster bergambar
Masjidil Haram di tanah aslinya: Arab Saudi, ada legitimasi lebih meskipun bisa
jadi tidak selalu berbanding lurus dengan harga mentereng. “Keorisinalitasan”
ini yang dikejar oleh pembelinya tanpa mau peduli bahwa itu merupakan bentuk
komodifikasi atas komoditas, terlepas dari lokasi produksi benda itu yang
mungkin lebih dekat dari asal negara orang yang berhaji (umumnya buatan Cina).
Masjid Nabawi dalam bingkai keemasan |
Pergeseran atas bentuk legitimasi pergi haji—dari oleh-oleh
benda kriya/seni ke fotografi—selain karena makin ringkas dan mudahnya kamera
juga karena foto mempunyai karakter yang unggul dalam merepresentasikan
kenyataan dibandingkan gambar atau benda kriya. Foto menjelma menjadi arena
mempertontonkan kebenaran, kebenaran bahwa orang ini benar-benar telah
beribadah haji, kebenaran yang ujungnya jatuh pada upaya pemosisian diri di
tengah masyarakat lewat perantara imaji. Foto juga memenangkan legitimasi melalui
penghadirannya yang berada di ruang privat tetapi bersifat publik: ruang tamu. Setiap
tamu yang datang berkunjung akan disuguhi “tanda” yang mewartakan bahwa tuan
rumah sudah pergi jauh ke Arab Saudi untuk menjalani ibadah haji, dan bila itu
dirasa kurang, barangkali foto Masjidil Haram tadi akan ditingkahi dengan
cerita-cerita dan kenangan menakjubkan tentang tanah suci.
Masalah lalu muncul ketika
siapa saja, bahkan yang belum pernah berhaji atau melaksanakan ibadah umroh bisa
bebas memajang gambar Masjidil Haram di ruang tamunya. Ya, di era reproduksi
mekanis—digital, siapa yang berhak melarang suatu pengomsumsian tanda? Entah
apapun motivasi orang yang tidak/belum berhaji memasang gambar Kabah. Tidak
ingin kalahkah dari yang sudah berhaji? Ingin dikira sudah berhajikah? Ataukah
justru suatu bentuk pengharapan agar suatu hari bisa beribadah haji? Apapun
yang melatarbelakangi perilaku tersebut, ‘hak eksklusif’ yang hendak ditujukkan
hanya kepada orang yang sudah berhaji seolah lebur dan mengabur. Gambar
Masjidil Haram yang biasa-biasa saja tidak lagi cukup menunjukkan bahwa seorang
pernah menjalani beratnya berhaji.
Dari sini gambar dan foto
Masjidil Haram menyimpan perang atas status dan makna, hingga mampu membentuk
visualitas dalam masyarakat, visualitas yang
membentuk akan pentingnya daya pembeda. Unsur intrinsik yang biasa
berada di wilayah estetika ternyata juga menyentuh sisi sosial. Zolberg
(1990:27) menuliskan bahwa suatu karya seni adalah bentukan anggota masyarakat
nan kompleks dan jauh dari label sederhana. Walker dan Chaplin (1997:76-77)
menyebutnya “selera,” yaitu suatu bentuk resepsi di mana konsumen dan produsen
bersama-sama membentuk selera baru dalam masyarakat, yang selera tersebut
sering dirancang untuk tetap ada pada waktu tertentu sebelum akhirnya
tergantikan. Becker (1982:39) mempertegasnya dengan mengatakan bahwa kriteria atas
estetika adalah karakteristik aktivitas kolektif. Gambar boleh menyajikan objek
yang sama namun tampilannya haruslah ‘beda.’ Pada tampilan yang beda inilah
makna dan status terus dibentuk. Maka diciptakanlah gambar-gambar atau foto sisi
lain Masjidil Haram (termasuk gambar pintu emas Kabah), diciptakanlah cara
membingkai gambar/foto yang secara konsensus dinilai layak dihargai lebih
tinggi dari lainnya. Sebaliknya, ada saja gambar atau foto lain yang tampak
tidak pantas ‘disajikan’ di ruang tamu rumah orang yang lebih berada dan
karenanya harganya lebih rendah, yang jika dilihat sekilas saja sudah tampak
hirarki kualitasnya.
Masjidil Haram dalam bingkai keemasan dengan lampu fluorescent di baliknya menjadi salah
satu yang dilingkupi keeksklusivitasan bagi orang yang baru pulang dari berhaji.
Bingkai berukir dengan warna keemasan menjadi ciri fisik yang terlihat kelasnya
dibandingkan gambar Masjidil Haram yang tidak berbingkai. Namun hanya soal
waktu sebelum gaya pembingkaian seperti ini akan mencapai titik jenuh. Bukan
saja ketika karya itu semakin lumrah ditemui di setiap rumah yang menyebabkan
nilai gengsinya menurun, tapi juga karena makna akan status akan selalu
diperbarui oleh segenap anggota masyarakat. Hal demikian dihadirkan untuk
melayani diri ini yang selalu haus akan unsur pembeda-yang-tidak-biasa, yang
tidak lain adalah unsur yang-tidak-dimiliki-oleh-orang-lain
Model Produksi
Model Produksi
Walker dan Chaplin (1997:77) menyebut model produksi,
distribusi, dan konsumsi yang perputarannya bukan sebagai pengulangan, melainkan
perputaran yang secara berbarengan dan berturutan, di mana setiap putaran
selalu berbeda karena selalu ada perubahan dalam masyarakat. Kini sudah tidak
jelas lagi siapa yang lebih berkontribusi terhadap nilai elitis dan estetis dalam
produksi gambar Masjidil Haram dan pembingkainya.
Apakah fotografernya? Belum tentu juga, sebab siapapun bisa
mengambil foto dengan kualitas cukup baik hari ini, asalkan memiliki kamera dan
akses ke lokasi pemotretan. Atau jangan-jangan yang lebih berjasa justru
perusahaan pembuat kamera dengan lensa kamera? Tapi apalah arti kamera tanpa
keberadaan fotografer?
Dapatkah peran besar ada di percetakannya? Amat diragukan,
karena kini kualitas cetak nyaris seragam apapun merek mesinnya. Bisakah pabrik
pembuat mesin cetak, pabrik tinta cetak, ataukah operator cetak lebih kuat
peranannya? Bisa jadi, namun mesin cetak hanyalah satu metode produksi.
Apakah orang yang diserahi untuk membingkai serta memasang
instalasi kabel dan lampu fluorescent
di balik poster lebih mumpuni dari mereka yang berprofesi sama? Belum tentu, mereka
juga masih membutuhkan jasa tukang kayu, penjual cat kayu, serta pemasoknya. Bahkan
ada teknik-teknik pengukiran dan pengecatan yang berpengaruh terhadap hasil dan
harga akhir dari suatu produk bingkai.
Benarkah pemesannya (klien) jauh lebih besar peranannya?
Mengingat tidak akan ada produksi tanpa ada permintaan, yang kemudian
menciptakan paradoks bahwa tidak akan ada permintaan tanpa produksi. Kenyataannya
toh seluruh individu secara anonim berperan serta dan turut memberi pengaruh
pada setiap elemen karya tersebut. Proses produksi, distribusi, konsumsi tidak
tegas meletakkan posisinya pada posisi tertentu, entah sebagai masyarakat
penyangga, konstruksi sosial seni, atau lembaga sosio kultural. Menciptakan
karya Masjidil Haram dalam bingkai tak lain adalah sebuah kerja kolektif yang
luas.
Berhaji yang merupakan bagian dari Rukun Islam menyiratkan
kepada pemeluknya untuk memasrahkan diri menjalani serangkaian ibadah dengan menapaktilasi
sejarah penyebaran agama yang diimaninya secara langsung di tanah Arab. Membutuhkan
tidak saja kesiapan fisik dan mental, serta biaya yang jelas tidak sedikit, orang-orang
Islam yang pergi berhaji menjadi terbebani tidak saja di hadapan Tuhannya tapi
lebih-lebih secara sosial. Sebuah proses rumit yang sayangnya tidak akan bisa
sepenuhnya dilenyapkan di mana proses itu kemudian berimbas pada visualitas
sebagai status sosial. Masjidil Haram dalam bingkai akan terus menempa makna
legitimasi bagi orang-orang yang berhaji.
Sumber Boleh Ngutip
Becker,
H.S., 1982. Art Worlds. Los Angeles:
University of California Press.
Debort, G.,
2002. The Society of The Spectacle.
Canberra: Hobgoblin Press.
Walker,
J.A., Chaplin, S. 1997. Visual Culture,
An Introduction. New York: Manchester University Press.
Zolberg,
V.L., 1990. Contructing a Sociology of
The Arts. 1990. New York: Cambridge University Press.
0 komentar:
Posting Komentar