Bulan Blogging dan Sang Pemenang
Ketika mendengar peluncuran “proyek”
penulisan bareng-bareng mahasiswa KBM (prodi Kajian Budaya & Media UGM)
bertajuk Bulan Blogging KBM aku termasuk
ke dalam kalangan yang bergembira-ria. Beberapa bulan sebelumnya (barangkali
tidak ada yang mengingat), aku sempat menyampaikan betapa asiknya jika angkatan
KBM 2014 punya blog bersama. Bayanganku ketika itu adalah blog tersebut bakal diisi
tugas-tugas kuliah. Keinginanku sih hanya ingin belajar dari garapan
kawan-kawan kuliah, karena menurutku tulisan dan kasus yang mereka angkat ajaib-ajaib.
Mungkin blog itu bisa sekalian untuk memperkenalkan kepada khalayak umum seperti
sih apa kajian budaya dan media sebagai salah satu ‘disiplin’ yang ‘gak
disiplin’.
Bulan Blogging
hadir lebih longgar (ini terbaca dari segi tema tulisan yang diangkat oleh para
penulisnya), bukan hanya soal tugas kuliah yang membosankan dan tidak “menyenangkan”
karena hukumnya wajib. Model tulisan bebas semacam ini ternyata justru menarik.
Perjumpaan kawan-kawan dengan dunia sekelilingnya pun sebenarnya tak jauh dari warna
akademis meskipun tidak bermaksud akademis. Hanya sayang tidak seluruh
mahasiswa KBM angkatan 2014 ikut serta di Bulan
Blogging dengan berbagai alasan. Dari 18 orang hanya 11 yang aktif ikut
serta.
Jika ada yang kurasa mengganjal
tak lain adalah sistem denda Rp. 20 ribu per hari (kemudian dikurangi menjadi
10 ribu) untuk setiap kali peserta absen menulis di blog-nya. Awalnya menurutku
denda ini adalah gagasan gila dan tidak mahasiswawi.
Sebagai orang yang otaknya terus menerus dijejali teori-teori mengenai
ketimpangan sosial selama kuliah dua semester aku sulit menerimanya. Bagiku
berkarya/menulis (atau sering aku istilahkan “mengetik” di blog ini) tidak bisa
dipaksa karena akan mengorbankan kualitas. Maklumlah ideologi ke-nyeni-an masih membekas dalam hati. Bagiku
penting untuk bisa berkarya kapan saja, sebebasnya, senikmatnya, semaunya,
tanpa tekanan. Aku bilang begini karena pernah merasakan situasi di mana
menggambar—sebuah kegiatan yang biasanya aku nikmati—tidak terasa nikmat lagi
di kala ia dilakukan sebagai rutinitas (maksudku: kerja). Tapi aku mengerti
elemen per-MAIN-annya. Sistem denda dipakai demi menambah keseruan permainan.
Iya, Bulan Blogging adalah sebuah game selain karena denda ini adalah
bagian dari kesepakatan mayoritas. Lagi pula Bulan Blogging hanya berlangsung selama 31 hari. Itu tidak sulit-sulit
amat sebab tak harus berupa tulisan, bisa apa saja (foto bahkan gambar).
Bulan Blogging akhirnya
memaksaku mengaktifkan dua blog lain yang lama tidak aktif demi menyiasati ragam
tulisan. Aku tidak ingin blog-ku yang ini (bebasngetik)
dipenuhi 31 tulisan dalam sebulan, terasa gak indah aja dan akan tampak tidak
konsisten jika di bulan-bulan berikutnya aku tidak menghasilkan tulisan dalam
jumlah yang sama. Untuk membebaskan diri dari penulisan menulis setiap hari (karena
waktu itu KBM mengadakan acara pemutaran film “Buka[n] Rahasia”), aku membuat
jadwal hingga sebulan yang terbagi dalam tiga blog. Yang paling gampang ya
bikin ulasan buku. Tinggal memfoto sampulnya lalu dibaca ulang secara lompat-lompat.
Ulasannya pun bukan ulasan serius, lebih mirip komentar pribadi dan
membandingkan apa yang kurasakan saat membaca ulang dengan pembacaan terdahulu.
Blog satunya lagi lebih sederhana karena
kuisi dengan gambar-gambar stok lama yang belum sempat discan atau belum diwarnai. Yah, keterpaksaan pun kadang membuahkan
hikmah. Beberapa orang sepertinya memang harus dipaksa supaya mau dan supaya
bisa.
Sekarang sesudah ajang Bulan Blogging berlalu kawan-kawan KBM
sekali lagi bersepakat, kali ini untuk memilih pemenang secara mufakat.
Masing-masing peserta diminta menentukan tiga penulis [blog] terbaik menurut
versinya sendiri. Tadi sudah kusebut bahwa Bulan
Blogging ini semacam game, jadi
pasti harus ada pemenangnya (walau agak aneh sebetulnya, buat apa ada tiga
pemenang toh yang menang ya cuma satu, to?). Berdasar kesepakatan pula si
pemenang inilah yang akan menerima hadiah uang denda senilai ratusan ribu Rupiah,
sekalian diharapkan agar sang pemenang mengembalikannya kepada seluruh peserta (boleh
dibaca: menyantuni) dalam bentuk traktiran makanan. Menurutku ini sungguh sebuah
langkah demokratis dan berdaya mandiri, menendang jauh usulan awal yang hendak
melibatkan (beberapa) dosen sebagai pihak penilai (yang mana justru jadi
otoritatif).
Sebelum menentukan pemenangnya
aku ingin menyampaikan tulisan ternikmat versiku dari setiap peserta Bulan Blogging.
A. Hair menuliskan kisah dibalik cerpen yang dipersembahkan kepada kekasih sebagai hadiah hari
ulang tahun kebersamaan. Sampai di situ saja sebetulnya kisah ini sudah terasa
menyentuh (aku enggan bilang “romantis” karena kata ini agak njijiki di kupingku), tapi cerpennya
sendiri amat unik dan punya cita rasa personal yang amat dalam.
Aulia T. menulis semacam
perenungan soal di ruang seperti apa seorang akan menjadi tua yang membuat aku juga
ikut berpikir lebih jauh: apakah kebahagiaan dan kedamaian berada di mana uang
berputar? Sepertinya sih tidak.
Dimas P.P. menulis
“sejarah” mengapa seseorang bernama Dini menua (pikirannya) lebih cepat daripada
seharusnya. Sekalipun twist-nya
terbaca namun aku menikmati alurnya.
Cerita Dhini A. tentang mata air di desanya menggali kenanganku soal mata
air (yang barangkali mirip) di daerah Temanggung yang dulu kerap kupakai mandi
semasa kecil.
Tulisan Djarwo unik karena dia masih terus membawa semangat filsafatnya. Secara
reflektif dia menggugat pahlawan paling berjasa bagi Jepang dan masa kecilku lewat
pertanyaan-pertanyaan yang akan membuat si penulis naskah berpikir ulang sebelum
membuat film.
Tulisan F.F. Armadita (Dita) tentang para tukang ojek dan jasa-jasa mereka di
tengah padatnya Jakarta membuatku berpikir ulang soal kota ini. Ternyata masih banyak
orang-orang yang gak selalu mikirin uang di sana.
L. Sunarko L. (Levi)
menceritakan refleksinya mengenai tujuan hidup setelah teringat sebuah dialogdi The Alchemist. Sebuah refleksi yang
kuakui membikin pikiran ini jadi kian riuh. Mungkin(kah) hidup yang “mengalir”
akan lebih menenangkan jiwa(?).
Di awal Bulan Blogging Mayarani N.I.
(Ilmi) menuliskan serangkaian “gugatan” terhadap konsep pernikahan. Tulisannya
terngiang hingga kini. Gayanya khas, pertanyaan disampaikan bertubi-tubi dengan
tanpa menuntut jawaban. Seperti(biasa)nya dia tengah geregetan. Menurutku sih
gampang saja: orang menikah lebih dikarenakan tekanan sosial.
Tulisan Neli F. yang menceritakan setahun di KBM, terutama pendapatnya
mengenai situasi awal-awal perkuliahan, seorang gadis yang meminta-minta
seluruh nomor hape mahasiswa, hingga soal kejutan kisah asmaranya yang baru aku
ketahui belakangan.
Yul R. (yang namanya mirip
nama asli Julia Perez) bermaksud menulis jalan-jalannya ke Taman Pelangi Jogja,
tapi yang kutangkap malah ada gurat-gurat kesepian di tulisannya J.
Gaya tulisannya ceria, seakan ditulis sambil senyum-senyum, sedikit mengingatkanku
pada adik sepupu yang masih SD tapi sudah sering nge-blog.
Sungguh sulit buatku untuk menentukan
pemenang. Kenapa? Tulisan-tulisan ini tidak bisa untuk di”kompetisi”kan karena
tidak berada pada tingkatan yang sama untuk dinilai. Tahu kan? Seperti umumnya lomba-lomba
lain yang selalu punya tema sama sebagai pengikat demi mempermudah kriteria
penilaian. Bayangkan bagaimana menilai tulisan curahan hati yang dihadapkan
dengan perbincangan sastra tingkat tinggi; kegalauan cinta dengan kegalauan
lingkungan; pembicaraan superhero dengan cerpen; foto-foto caffe dengan film
favorit. Bagiku setiap tulisan/karya punya kekuatan sendiri yang beda dari
lainnya. Jika dipaksakan jatuhnya adalah pada preferensi masing-masing penilai atau
ada pada tingkatan ‘kebutuhan’ dari si pembaca sendiri pada hari itu yang mana
bergantung pada gejolak emosinya (alias kedekatan emosional, seperti sudah kulakukan
di atas sewaktu memilih tulisan favoritku dari seluruh peserta Bulan Blogging). Kecuali bila memang ini
yang dicari(?), yaitu ke-subjektivitasan bukan ke-objektivitasan seperti yang
selalu digaungkan oleh para dosen(?).
Maaf, tapi dengan gaya (sok)
diplomatis aku akan bilang: bagiku pemenangnya adalah semua peserta yang sudah
ikut serta. Atau jika dilarang bermental diplomatis dan normatif maka aku akan
bilang pemenangnya adalah mereka yang tidak absen menulis selama 31 hari alias
mereka yang tidak terkena denda (yang mana ada empat orang, ehm...:). Atau justru para peserta yang terkena
denda-lah yang menang karena tanpa mereka maka tidak akan ada uang hadiah. Tidak
ada uang hadiah berarti tidak ada pemenang. Bila ini tidak diterima sebagai
alasan maka aku bilang: pemenangnya adalah yang punya ide untuk bikin Bulan Blogging, tidak, bukan hanya yang
punya ide tapi mereka yang mewujudkan Bulan
Blogging dan mendesainnya. Oh, tidak, tidak, tidak, bukan. Pemenangnya
adalah Sang Admin, karena tanpa perhatiannya link-link tulisan dari setiap blog peserta bisa saja tidak termuat.
Tapi jika memang dipaksa untuk memilih, baiklah. Aku akan memilih Yenny S. (Mace) Kenapa? Karena suaranya
berkelas platinum dan aku baru tahu itu ketika kami semua ke Candi Sukuh...ah nggak bukan hanya itu tapi karena
namanya selalu ada meskipun tidak ada tulisannya.
Demikian kawan, terima kasih.
Lebih jauh soal Bulan Blogging, klik di sini.
(Restu Ismoyo Aji)
0 komentar:
Posting Komentar