Estetika Desain dan Refleksi Diri
Estetika dalam dunia desain (utamanya) komunikasi visual
sering menimbulkan perdebatan, karena konon konsep tentang keindahan—yang
merupakan padanan kata dari estetika—tidak selalu mengalami kesepakatan. Bahwa
suatu keindahan atau kecantikan akan berbeda bergantung pada siapa yang menilai.
Misalnya ketika seseorang diminta memberi penilaian terhadap sebuah karya desain.
Bisa jadi orang itu akan mengatakan “bagus,” sedangkan orang lain dapat mengatakan
sebaliknya. Sebuah isu subjektivitas tak berkesudahan.
Udang Grandong? |
Kita semua setuju “estetika” dipadankan dengan “keindahan.” Tetapi
keindahan seperti apa sih yang diawang-awangkan ini, apa yang menjadi ukurannya?
Samakah ia dengan “kreativitas” yang seringkali digumamkan seseorang dalam memandang
suatu karya...katakanlah iklan, “hm, kreatif nih iklan!” Sementara ada saja desain
yang dicap “terlalu sederhana,” dilabeli “wagu,”
dan “ndeso.” Namun sesungguhnya mereka
menyimpan estetikanya sendiri yang lebih layak diapresiasi, desain-desain yang kadang
telah disesuaikan dengan apa yang menjadi tujuannya, meskipun hal ini barangkali
tidak disadari sepenuhnya oleh desainer tersebut.
Estetika dalam desain (utamanya Desain Komunikasi Visual)
perlu bergerak dari prasangka orang-orang di luar sana yang menganggap bahwa “keindahan”
dalam desain berbeda ruang dari kreativitas. Pun kreativitas sendiri harus terus
didorong supaya tidak terjebak dalam kesetaraan arti dengan
“kenyelenehan-keanehan-kekomedian-(menimbulkan) keterkejutan” semata, seperti
yang sering diterima secara luas bahkan oleh desainernya sendiri. Keduanya,
estetika dan kreativitas adalah satu.
Estetika "Basreng" |
Estetika butuh makna ‘baru’, pemahaman baru. Yaitu keindahan
yang memiliki dan mengandung tujuan. Tujuannya boleh jadi mulia tapi bukan dalam
bingkai moral (semata) melainkan ber-tujuan yang bijaksana dan bertangung jawab
dalam praktiknya. Pada tujuan inilah estetika dapat bebas bermain-main. Namun, yang paling penting adalah bagaimana tujuan ini dikomunikasikan, karena kunci untuk membuat sebuah gerakan adalah pada komunikasi.
Permainan estetika membutuhkan etika. Etika di sini harap
tidak dimaknai sebagai seperangkat aturan yang mengekang kebebasan dalam
mengekspresikan apa yang dituju oleh desainer. Karena etika letaknya ada di
depan sebelum seorang desainer mulai mendesain, ia tidak sama dengan hukum yang
menjatuhkan vonis setelah pelanggaran terjadi.
Etika dalam mendesain diperoleh dari refleksi diri terhadap pengalaman.
Pengalaman hendaknya mampu mengendalikan seorang desainer dari keinginan untuk
melayani hasrat liar estetik-nya yang kerap kali tanpa kejelasan. Pengalaman
desainer mengatakan bahwa sering terjadi negosiasi—dalam arti sebenarnya—dalam arti
yang sudah sering kita dengar sehari-hari. Pertanyakanlah pada diri: pantaskah
desain ini untuk suatu khalayak tertentu? Apakah waktunya sudah tepat? Sesuaikah
pesan-pesan yang akan disajikan kepada khalayak? Adakah yang harus dikurangi
atau ditambahkan? Akankah desain ini diterima dan tidak menimbulkan kehebohan
(atau justru ingin agar ada kehebohan)? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah bentuk
negosiasi baik dengan diri sendiri maupun dengan orang-orang yang (mungkin akan)
berkepentingan terhadap desain itu.
kemasan teh pun punya estetika |
Desainer yang baik bukan hanya berpikiran menjual atau
menanamkan pesan saja, namun yang mampu menghayati bagaimana tujuannya bisa dikomunikasikan,
jika sudah maka ia pasti dapat mengatasi pertanyaan-pertanyaan di atas dengan mudah.
Refleksi diri selain sebagai etika juga berfungsi sebagai objektivisme yang subjektif
atau subjektivisme yang objektif. Dengan begini persoalan estetika yang sarat
akan perspektif berbeda dapat teratasi.
Dalam industri desain yang hitungannya berbau uang dari
menit hingga jam, seorang desainer seringkali tidak mungkin melakukan
penelitian detail seperti idealnya ketika mahasiswa menggarap tugas kuliah,
terlebih tugas akhir yang merupakan proyek besar akademiknya. Keterbatasan ini
tentu bukan penghalang bagi desainer. Sebaliknya rangkaian ini sudah menjadi
setelan-wajib desainer. Tak ubahnya seperti seperti pemain sepakbola yang sudah
bisa memperkirakan apa yang akan dilakukannya atau akan dibawa ke arah mana
bola dikaki. Rangkaian ini sudah menjadi kebiasaan atau lebih tepatnya “jiwa”
seorang desainer.
Desainer harus bangga karena
mereka bukan hanya sibuk merenung dan memikirkan atau hanya sampai dalam tahap mencoba
menjelaskan atau mencoba menawarkan solusi abstrak. Mereka sudah melebihi dari
apa yang dilakukan para kritikus/filsuf visual, sebab desainer sudah
melakukannya sendiri, telah membuat tindakan. Mereka menawarkan solusi nyata yang
dengan itu mereka jadi punya pengalaman yang kemudian akan digunakan untuk belajar
tanpa henti dengan tidak hanya mendekonstruksi tapi juga merekonstruksi segala
fenomena visual (yang sosial) dari refleksi diri demi tercapainya kebaruan-kebaruan
dalam desain.
0 komentar:
Posting Komentar