Kontemplasi Jilbab
Bagiku jilbab (atau
hijab?) mampu memengaruhi persepsi mengenai kecantikan seorang perempuan. Jika
ditanya seperti apa perempuan ideal untuk dijadikan pasangan hidup, salah
satunya aku akan menjawab: “kalau bisa sih yang berjilbab.” Tentunya bukan yang terus-terusan berjilbab
sampai-sampai di dalam rumah (atau di depan suaminya) pun berjilbab, melainkan
berjilbab yang proporsional—yang cerdas menempatkan sandangannya dalam beragam
situasi.
Barangkali ini ada hubungannya
dengan pendidikanku di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyaah (MA), sehingga
membuatku terbiasa bertemu perempuan berjilbab. Teman-teman perempuan di
sekolah masih bisa tampil menawan hati dalam balutan seragam jilbab. Jilbab
sama sekali bukan penghalang untuk menunjukkan pesona diri mereka. Buatku yang ada
malah rasa “hormat” (mendekati salut), karena pastinya tidak mudah untuk
mengenakan jilbab di negeri tropis nan lembab seperti Indonesia. Maksudku,
laki-laki tidak akan pernah tahu seperti apa rasanya memakai jilbab, ya kan?
Memang benar
“berjilbab” tidak serta merta membuat si perempuan ini seorang yang taat pada
perintah Tuhannya, tidak lantas membuat dia paling mulia dan bebas dari perbuatan
jelek. Sering sekali kudengar ucapan-ucapan berkesan meremehkan semacam, “kalau
hanya kepalanya yang berjilbab, toh percuma saja,” atau “yang penting mah hatinya
berjilbab.” Namun ucapan model begini cenderung menafikan bahwa jilbab sendiri
adalah simbol. Setidaknya perempuan yang berjilbab sudah meraih dan menerapkan
simbol itu pada dirinya untuk ditunjukkan dalam interaksinya dengan orang
sekitar terlepas apapun tujuannya.
Mau jilbab yang
dikenakannya itu masuk ‘genre’ jilbab gaul atau jilbab lebar tidak masalah
buatku, kecuali...jilbab ninja alias jilbab
bercadar. Jilbab bercadar membuatku tidak nyaman. Aku merasa itu tidak terlalu elok
bahkan sok, terlebih yang seluruhnya berwarna hitam dari atas hingga bawah. Seperti
ada sesuatu dalam diriku mengatakan bahwa pemakai jilbab model ini adalah seorang
yang fanatik atau fundamentalis. Suatu prasangka memang, yang aku sendiri tidak
yakin apakah prasangka ini bentukan dari tontonan atau bacaan tapi begitulah
kenyataannya. Selain itu jilbab bercadar telah merenggut identitas pemakainya. Dari
mana kita bisa mengenali dia jika hanya matanya yang tampak?
Bukankah wajah adalah
bagian identitas paling utama? Meski begitu sebagai laki-laki aku juga harus mengakui
bahwa wajah perempuan (meskipun ia berjilbab) masih berpotensi mengalihkan perhatian
dan waktuku walau itu hanya sekelebatan, lagi pula ‘pengalihan’ ini juga tidak memberi
kebaikan bagiku. Dari sini aku berusaha menghargai perempuan-perempuan bercadar
yang berniat hendak menjaga diri, meskipun masalahnya mungkin dari keegoisan laki-laki
sendiri.
Lumrahnya perempuan muslim
Indonesia yang berjilbab patut disyukuri. Sedikitnya ini menunjukkan mereka bangga
dengan keislaman mereka dan tidak takut dengan prasangka buruk di luar sana tentang
jilbab. Sayang memang jika jilbab sekarang seolah hanya jadi sekedar tren, dan yang
namanya tren tentu akan cepat menguap lalu lenyap. Di sisi lain, hati ini ikut senang
menyaksikan kreasi-kreasi model jilbab baru yang unik dan menarik, namun kebaruan
sekaligus menggerus hakikat sejati dari jilbab. Maknanya jadi bergeser. Jilbab berubah
jadi penarik perhatian (lawan jenis) yang mana bukan begitu tujuan awalnya.
Ataukah tren jilbab itu termasuk “hidayah” yang senantiasa didengungkan? Akan jadi
pertanyaan yang sulit dijawab.
(Restu Ismoyo Aji)
0 komentar:
Posting Komentar