Plural Plural Apaan Sih?
Semakin ke sini kata pluralitas
kian membingungkan. Adakah ia sama dengan sekularisme? Apakah ia sama dengan
multikulturalisme?
Sebagai muslim yang belum
teramat taat, aku tidak paham dengan orang beridentitas Islam yang gaya-gayanya
itu mau sok “mengakomodir perbedaan” (bukan sekedar menerima perbedaan), tapi
jatuhnya malah mencampuradukan antara yang memang tuntunan (sunnah) agama dengan
penafsiran dirinya sendiri.
Ambil contoh ketika ada yang
menanyakan kabar, orang ini malah menjawab “puji tuhan, kabar baik.” Temannya ini
yang menanyakan kabar karuan alisnya berkerut, terheran lalu menanyakan alasan
dia menjawab seperti itu. Orang ini lalu menguraikan bahwa “Alhamdulillah kan artinya
sama saja dengan puji tuhan.” Padahal jawaban demikian sangat ambigu karena
kita sudah memasuki wilayah simbol. Simbol yang amat kuat, sehingga anak TK
saja mungkin tahu arahnya. Lalu apa selanjutnya? Mengubah “Allahuakbar” (dalam ibadah
sholat) jadi “Tuhan Yang Agung” hanya karena artinya sama?
Ini pula yang digunakan jadi
mainan oleh para capres cawapres tempo hari. Biar dibilang peduli nan toleran ber-bhineka-is-pluralis sejati, mereka
menyampaikan salam panjang yang tidak lazim dirangkai namun tak punya makna
jelas. “Assalamualaikum, Om Swastiatu,
Shalom, Selamat malam.” Coba saja diartikan kata-per-kata, apa ada
maknanya? Tidak, maknanya sudah hancur lebur demi kepentingan sesaat. Ujungnya
jelas, mereka ini cuma mau meraih suara dari orang-orang yang menurut sangkaan mereka
tengah tersingkirkan dalam struktur sosial masyarakat.
Plural yang menjadi tujuan
seharusnya bukan mau mengaburkan batas atau identitas. Jika identitas kian
kabur, maka bukan keragaman lagi namanya. Arah pluralisme yang mencong seperti
ini layak dipertanyakan karena berpotensi memecah belah. Menerima perbedaan
sebagai identitas bukan berarti menyatukan keberbedaan menjadi ketunggalan. Menghormati
perbedaan bukan dengan cara merayakan hari raya keagamaan secara bersama-sama atau
menghadirinya dengan alasan agar saling memahami nilai-nilai sang Liyan.
Mengetahui dan menyadari perbedaan, tidak mengganggu lainnya dengan saling
melihat ke dalam diri masing-masing sembari menjauhi dominasi dapat sebagai langkah awal yang sudah lebih dari cukup
untuk menjaga perbedaan tidak meretak. Untukmu lingkupanmu, untukku
lingkupanku.
0 komentar:
Posting Komentar