Spanduk Perlawanan PSS Sleman
Menatap jalanan seputar Sleman pada
bulan November (2014), niscaya mata akan menjumpai penampakan yang tidak biasa.
Spanduk-spanduk berhias kata-kata dukungan untuk klub PSS (Persatuan Sepak Bola
Sleman), diselingi hujatan kepada PSSI ditorehkan dengan cat semprot (aerosol paint) bertebaran nyaris di mana
saja, dari tepi jalan ‘tak bertuan’, di gerbang masuk dusun-dusun, hingga di hampir
tiap persimpangan jalan. Spanduk-spanduk ini diikat sekenanya pada pohon, tiang
listrik, pagar rumah. Fenomena ini tentu tidak bermaksud semata-mata meminta
perhatian atau sekedar bertujuan merebut ruang publik seperti yang sering
didengungkan sebagai “sampah visual” yang mana hampir selalu bertujuan
komersial atau politik praktis. Spanduk-spanduk ini adalah ruang perlawanan Slemania
pun Brigata Curva Sud terhadap apa
yang ditatap sebagai tirani dalam sepak bola.
Jl. Palagan, perempatan Jl. Gitogati - Jl. Kapt. Hariadi |
di Jl. Palagan Tentara Pelajar |
Seperti fenomena visual lainnya
yang tidak lahir begitu saja tanpa latar peristiwa. Spanduk-spanduk yang menjamur
di musim penghujan dipicu oleh insiden memalukan dalam sejarah sepak bola
Indonesia pada Minggu 26 Oktober 2014, ketika tragedi “sepak bola gajah” terulang
setelah pertemuan Indonesia lawan Thailand di Piala Tiger pada 1998 silam. Kali
ini di Yogyakarta pada laga Divisi Utama yang mempertemukan PSS dengan PSIS
Semarang. Pertandingan dimenangkan PSS 3-2, di mana gol yang tercipta seluruhnya
merupakan gol bunuh diri. Kedua tim rupanya berupaya menghindari pertemuan di
semifinal dengan Pusamania Borneo FC yang dirumorkan dekat dengan mafia lokal. Menyusul
insiden ini PSSI kemudian mendiskualifikasi kedua tim dan menghukum pemain
masing-masing klub.
di Jl. Besi-Jangkang |
Dugaan adanya mafia dalam sepak
bola bukan masalah yang bisa dianggap remeh. Sudah lama rumor mengenai mafia
pengaturan skor beredar. Belum lagi masalah persepakbolaan Indonesia memang pelik.
Dari perpecahan kepemimpinan PSSI sehingga memaksa pemerintah dan FIFA untuk turun mengimbau perdamaian, dua format liga yang pernah berjalan berbarengan (LSI vs LPI--Liga Primer Indonesia), masalah
pengadil lapangan yang kerap dituding tidak adil, hingga kasus meninggalnya
pemain asal luar negeri yang tidak mampu membayar biaya pengobatan akibat klub
menunggak gaji. Wajar jika kekecewaan demi kekecewaan timbul, terlebih harapan
untuk meraih prestasi yang dibebankan kepada timnas U-19 di Piala Asia berujung
kegagalan.
Di pertigaan Pakem, Jl. Kaliurang |
Dalam bingkai kekecewaan inilah
spanduk-spanduk ‘sederhana’ ini muncul sebagai medium suara hati Slemania. Kuatnya
media massa resmi dalam menguasai wacana pemberitaan yang disajikan kepada
masyarakat, membuat Slemania memilih medium pinggiran yang lebih dekat dengan
mereka untuk mengomunikasikan kegelisahan atas apa yang dinilai sebagai sebuah
ketidakadilan, ketika klub kebanggaan harus ditumbalkan atas ketidakberesan
PSSI sebagai induk dan PT Liga Indonesia sebagai penyelenggara turnamen. Terbukti
hanya dalam beberapa hari berselang berita tentang peristiwa ini seolah lenyap
dari sorotan media. Bagi Slemania media massa telah
gagal menjalankan peran menjernihkan persoalan dan memberi perlindungan.
di Jl. Kaliurang dekat RS Pantinugroho, Pakem |
Penempatan spanduk yang
berkesan alakadarnya di setiap sudut Sleman menunjukkan pemasangannya jelas tanpa mengindahkan
izin dari badan terkait. Hal ini merupakan suatu bentuk anarki namun sekaligus kekuatan
dan keberanian bersuara. Di masa sebelum reformasi tentu sulit melihat
kebebasan berpendapat dihargai terutama di ruang publik. Ruang publik di mana
ia dipahami sebagai sarana pengungkapan identitas untuk bergerak bersama menuju
pada kebebasan (Haryatmoko, 2014:176). Spanduk ini bisa saja dibaca sebagai
aksi politik yang berada di tingkat bawah dan dalam lingkup kecil. Gerakan
protes lewat medium spanduk bekas ini menjelma menjadi demonstrasi dalam ‘bisu’
yang mampu berbicara sendiri tanpa perlu berkumpul secara fisik. Slemania
mengikat diri dalam suatu identitas dengan keprihatinan yang sama dalam
semangat mengingatkan publik agar menolak lupa.
di Jl. Palagan dekat Monjali |
Penempatan spanduk di ruang
publik setidaknya melayani dua hal. Pertama
fungsi internal, yaitu demi menunjukkan eksistensi pendukung klub. Spanduk ini ada
sebagai upaya memaknai peristiwa secara kritis, penegasan kecintaan dan
kepedulian kepada klub, serta sebentuk solidaritas
dan dukungan moral kepada tim kesayangan bahwa mereka akan tetap hadir
menjalani kesulitan bersama-sama. Dalam menjalankan fungsi ini tidak diperlukan
keindahan normatif desain, karena bagi pendukung klub, keindahan adalah kalau
tim mereka bisa menang, main cantik, tidak terkena sanksi terlebih
diskualifikasi. Keindahan adalah jika mereka mampu bergerak secara partisipatoris
mencoreti spanduk lalu memajangnya dalam nalar yang dimiliki secara kolektif. Itu
sebabnya pilihan kata-kata dukungan diambil dari hal paling dekat dengan dunia mereka,
bukan mengenai benar/salahnya tata bahasa, entah itu bahasa negeri sendiri atau bahasa Inggris yang asal comot.
di Jl. Kaliurang km 14 |
Kesan militan, spontan,
ekspresif, dan eksplosif tertangkap pula dari bahan-bahan yang dipakai. Merujuk
McLuhan bahwa “medium adalah pesan”, di mana tak ada dikotomi media dengan
pesan, tak ada batas antara baik/buruk, boleh/tidak boleh (Piliang, 2012:70),
spanduk ini tengah menyampaikan wacana "perlawanan dari bawah" atau "anti elitisme." melalui mediumnya. Pasalnya
spanduk didominasi oleh bekas iklan komersial yang dibaliknya masih
menyisakan lembar kosong putih, pada lembar kosong inilah kata-kata dukungan
ditorehkan.
Penerapannya sendiri mengingatkan pada pratik vandalisme tembok di ruang publik oleh tangan-tangan usil, hanya saja oleh Slemania spanduk ini tidaklah anonim sebab identitas pemasang dan tujuannya jelas tertera. Penggunaan spanduk bekas dan cat semprot seolah mengejek mesin cetak yang nyaris selalu melayani korporasi berbau komersial maupun politisi dalam kampanye. Dari sini terlihat pula keistimewaannya karena setiap spanduk tampil unik dan tidak identik antara satu dengan lainnya berkat pengerjaan manual, berbeda dengan mesin cetak yang mampu mencetak dalam jumlah besar lagi seragam. Dengan demikian Slemania hampir tidak mengeluarkan biaya kecuali untuk cat semprot. Kendati bisa saja dikemukakan bahwa alasannya adalah soal biaya.
Penerapannya sendiri mengingatkan pada pratik vandalisme tembok di ruang publik oleh tangan-tangan usil, hanya saja oleh Slemania spanduk ini tidaklah anonim sebab identitas pemasang dan tujuannya jelas tertera. Penggunaan spanduk bekas dan cat semprot seolah mengejek mesin cetak yang nyaris selalu melayani korporasi berbau komersial maupun politisi dalam kampanye. Dari sini terlihat pula keistimewaannya karena setiap spanduk tampil unik dan tidak identik antara satu dengan lainnya berkat pengerjaan manual, berbeda dengan mesin cetak yang mampu mencetak dalam jumlah besar lagi seragam. Dengan demikian Slemania hampir tidak mengeluarkan biaya kecuali untuk cat semprot. Kendati bisa saja dikemukakan bahwa alasannya adalah soal biaya.
di Jl. Besi-Jangkang dekat SPBU |
Kedua, fungsi eksternal
spanduk di ruang publik adalah agar masyarakat awam melihatnya, yaitu mereka
yang bukan pendukung PSS atau warga Sleman pada umumnya. Orang awam dapat bebas
menyikapi. Entah dengan tidak peduli, mencibir, merasa terganggu namun tidak bisa apa-apa, atau justru bertanya-tanya ada
apa sebenarnya di balik spanduk-spanduk yang mau menawarkan cara melihat
masalah dari sudut pandang Slemania.
Tentu spanduk ini bukan tanpa
masalah. Masyarakat mungkin merasa terjebak dalam ketidakberdayaan atas
ketidaksetujuan mereka terhadap invasi spanduk di ruang publik. Belum lagi
adanya kecenderungan fanatisme dari Slemania, yang mana fanatisme memiliki
kecenderungan untuk menuding pihak lain yang bersalah (walau memang ada pula yang mengkritisi sikap manajemen PSS sendiri yang jelas terlibat). Sehingga alat protes ini
berpotensi menyimpan benih kekerasan (non fisik), tidak saja kepada PSSI yang
memang jelas diserang secara verbal lebih-lebih kepada publik yang melihat atau
yang diasosiasikan dengannya. Tetapi setidaknya gerakan ini bisa dipandang
sebagai kebebasan menyampaikan pendapat yang merupakan bagian dari pluralitas
dalam praktik berdemokrasi di mana spanduk yang mampu berteriak ini akan dikenang oleh siapapun yang pernah memintasinya.
(Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan)
Sumber:
Haryatmoko. 2014. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas.
Piliang, Y.A. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika, Gaya, Kode, dan Matinya Makna.
Bandung: Matahari.
Foto: dokumentasi pribadi, kecuali dua foto terakhir yang ditandai.
0 komentar:
Posting Komentar