Antara Desain dan Budaya Modern
Tulisan Julliette MacDonald berjudul Design and Modern Culture dalam kumpulan esai Exploring Visual Culture (Matthew Rampley) menjabarkan dengan
sangat baik nyaris seluruh isu-isu dalam desain dan dunia yang meliputinya
hingga keluasan makna “desain” sebagai sesuatu yang memengaruhi segala aspek
kehidupan manusia.
MacDonald menyebut desain sebagai sebuah proses di
mana beragam wacana bertemu di dalamnya. Tujuan desain adalah untuk memudahkan (dan
kenyataannya memang memudahkan) manusia dalam keseharian, tapi malah berujung
mengabdinya desain pada kapitalisme yang hanya memanfaatkannya sebagai
komoditas demi memicu konsumerisme masyarakat. MacDonald mengisahkan perjalanan
desain dari awal ketika bersentuhan dengan industri sampai digunakan untuk
membentuk identitas budaya, menginvasi kehidupan paling pribadi manusia,
menciptakan standar ideal baru yang tanpanya orang dibuat seolah akan kesulitan
menjalani hidup. Desain pun menjadi kedok bagi pengendalian konsumen dan pencarian keuntungan semata.
Tulisan MacDonald sesungguhnya serba kontradiktif.
Dia memaparkan melimpahnya permasalahan berkonotasi negatif dalam desain tapi kemudian
dibantahnya sendiri sebagai hal yang tidak mungkin begitu saja dihilangkan. Ini
jelas tidak lepas dari profesi MacDonald yang seorang akademisi dan peneliti pada
sebuah lingkungan kampus seni. Tulisannya seperti hanya menuturkan kenyataan
tanpa mencoba untuk menegaskan keberpihakan atau hendak menegasikan sesuatu. Dia
mencoba untuk objektif dan menjaga jarak, namun jika dilihat dari profesinya
sudah jelas posisinya ada di mana. Dalam penutupnya yang seakan melepaskan
pembaca (dalam hal ini terutama para desainer yang membaca tulisannya) untuk mengambil
sikap, MacDonald menunjukkan ketidakberdayaan menghadapi permasalahan dalam bidang yang
ditekuninya. Setiap elemen dalam tulisannya mengulangi apa yang memang telah
lama menjadi keresahan desainer. Hal ini tidak lantas menjadikan tulisannya tanpa
manfaat, setidaknya dia bisa mengingatkan para desainer atas wacana yang
berkembang belakangan dalam bidang desain.
MacDonald menyampaikan betapa mendesain adalah suatu
proses yang tidak mudah nan rumit, bahkan mampu menyentuh sisi pengalaman
terdalam manusia. Jadi apakah salah jika desainer dibayar mahal atas kerumitan
itu? Barangkali pertanyaannya bukan mengenai salah atau benar. Karena desainer
sama seperti profesi lain yang bertujuan bertahan hidup dan menghidupi dengan
menawarkan jasa kepada yang membutuhkan, jasa yang terkait kemampuan serta
intuisi yang mana tidak mudah diraih oleh seseorang tanpa mempelajari dan
menggelutinya. Memang sayang jika desain hanya dipertukarkan dengan uang. Hal
demikian berpotensi mematikan kreativitas dan nurani seorang desainer, walau
harus diakui juga bahwa kehadiran uang dapat memotivasi dalam berkarya, dan
jika tidak dipertukarkan dengan nilai yang setara terhadap kualitas karya
seorang desainer lalu di mana asas keadilan?
Harus diperhatikan pula bahwa desain tidak melulu
mengarah pada rasa dahaga manusia atas simbol dari objek yang sudah menjelma komoditas
itu. Ada tebaran desain-desain pinggiran dan remeh luput dari perhatian
MacDonald, desain-desain yang jauh dari cara pandang MacDonald yang serba luas
dan cenderung menyamaratakan gejala secara global. Seolah “Barat” adalah
satu-satunya pusat dari wacana desain. Desain-desain yang dimaksud bisa dengan
mudah ditemui di bagian terbawah perekonomian, di warung-warung kecil, di
pasar-pasar, hingga angkringan yang barangkali tengah mencoba keluar dari
jebakan konsumsi simbol tersebut. Konsumen sendiri sebenarnya turut berperan melalui
perilaku aktif mereka, walaupun kerap dituding sebagai perilaku ketertipuan
massal yang pasif. Desainer, konsumen, dan produsen saling membutuhkan dalam
sebuah komunikasi timbal balik untuk menciptakan kebaruan karya-karya desain
selanjutnya. Kebaruan sejati yang nantinya melampaui fungsi dan simbol, bukan
lagi fungsi kabur dan dangkal sebagaimana disebut MacDonald.
Jika MacDonald membuka tulisannya dengan menyatakan
bahwa “desain” adalah sesuatu yang sulit dipahami serta identik dengan
keeksklusifitasan dan cenderung elitis. Sesungguhnya inilah yang sedang
diperjuangkan sebagian desainer. Bahwa setiap orang sesungguhnya memiliki cita
rasa (desain) yang unik, mereka memiliki estetikanya sendiri-sendiri terlepas
dari peran media yang membentuk selera itu. Artinya siapapun punya hak dan
kesempatan berperan sebagai desainer sekaligus menilai mana desain yang sesuai
dengan dirinya dan mana yang tidak, meskipun tidak pernah mengecap pendidikan desain secara
formal.
Di sisi lain titik problematika dari para desainer adalah mereka ‘tidak benar-benar punya pilihan lain’. Karena ada anggapan pencapaian atau kebanggaan seorang desainer adalah ketika dapat melayani perusahaan atau lembaga raksasa beserta perangkat birokrasinya yang sebetulnya membuat desainer harus menyiapkan diri menghadapi apa yang disebut dengan “kompromi,” termasuk mengompromikan (baca: mengorbankan) idealismenya sendiri. Ini bukan sepenuhnya salah desainer namun lebih kepada sistem yang menyeret masyarakat dalam struktur kapitalisme.
Di sisi lain titik problematika dari para desainer adalah mereka ‘tidak benar-benar punya pilihan lain’. Karena ada anggapan pencapaian atau kebanggaan seorang desainer adalah ketika dapat melayani perusahaan atau lembaga raksasa beserta perangkat birokrasinya yang sebetulnya membuat desainer harus menyiapkan diri menghadapi apa yang disebut dengan “kompromi,” termasuk mengompromikan (baca: mengorbankan) idealismenya sendiri. Ini bukan sepenuhnya salah desainer namun lebih kepada sistem yang menyeret masyarakat dalam struktur kapitalisme.
Bila seorang desainer memang hendak keluar dari
jerat kapitalis maka dia tidak akan dapat melakukannya seorang diri. Desain
yang berupaya memanusiakan manusia adalah sebuah jalan panjang untuk dilalui yang
bisa dimulai dari memunculkan kekuatan desain untuk memuat tujuan-tujuan partisipatoris.
Ini adalah sebuah tugas besar tanpa akhir untuk ditunaikan bersama. Mungkin inilah
yang ingin disampaikan oleh MacDonald.
(Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan)
(Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan)
0 komentar:
Posting Komentar