Ande Ande Lemot
Pada sebuah dusun nan bersahaja
tinggallah seorang pemuda bertampang gagah yang tidak seberapa berada bernama
Andy. Karena namanya agak lama untuk dicerna kuping, penduduk dusun memanggilnya
“Ande.” Si Ande ini sangat pelan dalam segalanya terutama dalam berpikir. Maka itulah
dia diarani “Ande Ande Lemot” oleh
warga dusun. Walau begitu dia ini sangat berguna jika sedang masanya berguna.
Misalnya tatkala nagari tengah mengalami musim banjir dia akan mengantarkan
warga menyebrang jalanan pemisah antar dusun yang mendadak berubah jadi kali.
Iya, Ande Ande Lemot adalah seorang tukang perahu handal.
Ande Lemot siap ikut audisi dengan gitar pengayuh perahu |
Suatu hari yang harinya sama
ketika kamu sedang membaca ketikan ini. Ande Ande Lemot mendengar bahwa di
dusun seberang ada seorang perempuan yang konon kecantikannya melampaui
manusia. “Terlalu cantiknya sampai-sampai dia lebih layak jadi istri Dewata. Setiap
lelaki yang mau melamarnya jadi segan dan memilih memejam mata saja waktu
berpapasan muka,” begitu kata temannya yang Si Ande sendiri lupa namanya. Ande mengangguk-angguk
saja. Temannya itu pun pulang, mungkin dengan agak dongkol karena yang diajak
bicara kelihatan tidak paham.
Keesokannya Ande baru memahami arti
perkataan temannya itu. Malamnya Ande bermimpi melihat sinar berwarna kuning
benderang turun dari langit jatuh ke sebuah pohon hayat di tengah telaga. Sesosok
perempuan berdiri diterpa cahaya kuning yang menerobos antara dedaunan pohon.
Perempuan itu berdiri menghadap padanya. Sayang wajah itu perempuan tidak
nampak. Sinar itu kian terang, kian terang, kian terang...
Sinar surya menerpa wajah Ande.
Rupanya pagi telah menyapa. Ia bergegas bangkit dari pembaringan.
Hari itu juga dia yakinkan diri
untuk berkunjung ke dusun seberang untuk sekedar menjawab rasa penasaran atas
mimpinya semalam. Melangkahlah ia menuju tepi jalan dusun. Namun alangkah ia
tersentak mendapatinya telah berubah jadi kali. Rupanya sekarang tengah musim
banjir! Ia jadi tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Butuh waktu sehari penuh baginya
untuk kemudian menyeberangi banjir, itupun karena ada warga dusun yang minta
diantar ke dusun seberang. Didoronglah perahunya ke banjir yang deras lalu diantarkan
warga dusun itu menyebrang.
Ande Lemot bimbang dalam keberbimbangan |
Sesampai di seberang Ande Ande
Lemot duduk termenung sembari risau. Haruskah dia lanjutkan mencari perempuan seindah
bidadari yang dibingkaikan temannya dalam kata tempo hari. Ande bahkan tidak
tahu nama perempuan itu, tidak tahu rumahnya ada di mana, tidak punya pula gambaran
seperti apa rupa perempuan itu. Dan jikapun berjumpa dia tak tahu akan bagaimana.
Sekonyong-konyong seorang
perempuan mendekat ke arahnya. Gadis berkulit kuning, bermata kuning, bergigi
kuning, dan bercawat kuning berjalan penuh lenggokan. Warna kuningnya
memantulkan cahaya matahari sehingga Ande Lemot tak bisa menyawang dengan jelas
selain warna yang serba kuning.
“Wahai, tukang perahu. Antarkanlah
aku ke seberang. Berapapun yang kau minta akan aku penuhi.” Perempuan kuning
itu bersuara yang terdengar bagai senandung.
“Maafkan aku Nyi Sanak, namun
aku tengah memikirkan sesuatu yang...sekarang aku telah lupa apa tadi yang aku
khayalkan.” Ande Ande mengernyit.
“Wahai tukang perahu yang
perkasa, Aku hendak menjumpai seorang lelaki yang konon ketampanannya melebihi
pangeran manapun. Dari kabar burung kudengar dia tinggal di dusun seberang. Bukankah
engkau berasal dari dusun seberang? Adakah engkau mengenalnya?” Suara perempuan
kuning ini kian mendayu.
“Aku tidak mengenalnya, Nyi
Sanak. Dan aku tidak hendak menyebrangkan siapapun saat ini.” Ande Lemot
menyipitkan matanya karena kemilau perempuan di depannya kian menyilaukan.
Klenthing Kuning yang kemilaunya menyilaukan |
“Tolonglah aku hai tukang
perahu. Aku akan berikan apapun. Aku akan berikan kau sebuah ciuman.” Kali ini
suaranya makin mendesah.
“Kenapa aku ingin ciuman?”
Telapak tangan Ande mengatapi separuh keningnya mencoba melindungi matanya.
“Aku mohon wahai tukang perahu,
aku akan penuhi apapun keinginanmu...” Perempuan kuning itu memelas.
Ande Lemot tak beranjak. Dia memalingkan
wajah, pertanda sedang teguh pendirian.
Perempuan itu pun akhirnya menyerah. Segala upaya tak hasilnya untuk menggoyahkan kelemotan Si Ande. Ditengoknya sekitar tak ada tukang perahu lain. Dia berdiri di tepian banjir yang bergolak penuh angkara. Tanpa dinyana, dia terjun ke banjir, meraup tangan dan kakinya kalang kabut mencoba mengarungi arus banjir. Sementara Ande diam membiarkan itu terjadi.
Tiba-tiba Ande sadar,
barangkali perempuan tadi adalah perempuan yang diceritakan temannya, perempuan
yang bersinaran dalam mimpinya. Dia segera menyusul perempuan itu dengan perahunya.
Tapi terlambat, perempuan itu senyap ditelan banjir. Mungkin jadi santapan ikan.
Dengan lemas lunglai Ande Ande Lemot
menepi ke dusunnya. Tepekur duduk dia atas batu dia meringis memikirkan betapa
miris dirinya. Untuk beberapa saat dia merasa memang dia orang yang akan
bernasib galau seumur-umur. Sampai...
“Kang, kang!” sayup terdengar
suara perempuan muda dari seberang banjir yang sepertinya memanggil dia. Ande
menengok ke arah suara. Bukan, bukan hanya seorang perempuan, melainkan tiga! Di
kejauhan di sana Ande bisa melihat tiga perempuan menyandang kain berwarna
merah, hijau, dan biru.
Klenthing RGB ada di seberang sana siap untuk di... |
Tersenyum Ande, begitu pula
hatinya. Ini kali pertama ada yang memanggilnya dengan “Kang.”
“Kang, tuKang perahu! Kemarilah, antarkan kami ke sana!” satu dari tiga
perempuan itu melambai.
Ande Ande Lemot bangkit,
semangatnya juga. Dia mendorong perahu dengan sigap ke bibir banjir...tanpa dia
sendiri naik ke atasnya. Perahu itu pun terbawa arus.
(Jino Jiwan/Restu Ismoyo Aji)
(Jino Jiwan/Restu Ismoyo Aji)
0 komentar:
Posting Komentar