Bias Berita di Media
Pernyataan seorang pejabat pemerintahan daerah ternyata bisa
sangat kontroversial dan rumit. Ini yang menurutku menimpa walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti, politisi PDIP pada bulan
Maret 2015 yang berpendapat bahwa Idham
Samawi, mantan bupati Bantul tidak layak dijadikan tersangka korupsi
terkait dana hibah ke Persiba Bantul. Alasannya adalah karena mengelola
olahraga lebih banyak pengorbanannya. Menyusul pernyataan itu muncul dua kubu
berseberangan bereaksi atas pernyataan sang walikota; kubu Paguyuban Kawula Bantul Berjuang (PKBB) yang mendukung perkataan Suyuti,
sekaligus pendukung Idham Samawi. Di seberangnya ada Jaringan Anti Korupsi (JAK) DIY yang menentang dan melaporkan
Suyuti ke DPRD dan KPK gara-gara pernyataan itu. Menariknya tiga buah surat
kabar yang beredar di Yogyakarta pada Kamis, 20 Maret 2015: Kedaulatan Rakyat (KR), Tribun Jogja, dan Sindo secara tersurat menuliskan berita dengan pembingkaian yang
berbeda atas peristiwa yang sama.
Distorsi informasi pemberitaan lumrah terjadi. Perbedaan
penyampaian berita ini terjadi karena tidak ada sensor formal (dari negara seperti
di era Orba dengan Departemen Penerangan-nya), melainkan media-media yang saling
bersaing pada ranah ekonomi politik. Dan media memang punya kemampuan untuk itu,
untuk merancang dan mengarahkan persepsi masyarakat. Pada tataran lebih jauh
bias editorial berita tersebut bekerja dalam apa yang dipaparkan oleh Herman
dan Chomsky dalam buku terbitan 1988, Manufacturing
Consent sebagai model propaganda
media.
Model propaganda mencakup lima filter yang
menyangkut kepentingan berbagai pihak dan memengaruhi berita yang sampai di
hadapan pembaca. Pertama adalah faktor
kepemilikan media dan orientasi profit di mana kepemilikan media dikuasai
segelintir orang kaya dan karenanya kuat secara politis. Kedua, faktor iklan akan memaksa media terlibat dalam kompetisi pemberitaan
demi merebut pemasukan darinya, yang pada ujungnya menaikkan profit. Ketiga, sumber berita media bergantung
pada pemerintah dan pendapat para “ahli” atau disebut “informasi resmi,” karena
bahkan media besar sekalipun tetap tidak dapat menjangkau keseluruhan peristiwa
yang terjadi dalam sehari sehingga membutuhkan informasi dari sumber resmi
pemerintah. Keempat, adalah flak (kritikan pekerja/lembaga pers dalam
berbagai ujud untuk membuahkan berita) yang sebenarnya justru berkerja dengan
diakomodir oleh media-media juga. Kelima,
disebut filter antikomunisme atau dapat dibaca sebagai “ideologi yang dianggap
musuh bersama” untuk membenarkan langkah-langkah politis yang diambil demi
menguasai wacana dan pasar dunia. Dengan model ini kekuatan status quo bisa
dipertahankan. Namun bagi Herman dan Chomsky wacana di balik berita dan siapa
pihak-pihak yang diuntungkan serta siapa yang coba dipengaruhi oleh pemberitaan
bisa diungkap.
Kedaulatan Rakyat, 20 Maret 2015, hal. 1 |
Judul berita pada halaman pertama KR (20/3) adalah, “Soal Idham Rela Berkorban di Olahraga, ‘Kawula’
Bantul Bela Pernyataan Haryadi.” Beritanya berkisar pada aksi massa PKBB di
gedung DPRD Kota Yogyakarta dalam memberi dukungan pada Suyuti. Berita ini
menyertakan foto beberapa laki-laki dari pihak PKBB membawa kertas bertuliskan
kata-kata dukungan (versi onlinenya). Berita ini anehnya hanya
menyajikan pendapat dari satu pihak saja (yaitu PKBB) tanpa sedikitpun
menyebut rivalnya (JAK) yang melaporkan pernyataan Suyuti. Aksi JAK ditiadakan (baca: disenyapkan) oleh KR. Koordinator aksi,
Noor J. Langga menjadi satu-satunya sumber kutipan dalam berita, bahwa menurut
Langga, Suyuti mengerti benar seluk beluk pengelolaan olahraga dan semestinya
hal itu dianggap sebagai bentuk kepedulian kepada kasus yang menimpa Idham, bahwa
apa yang dikatakan Suyuti bukan merupakan bentuk intervensi hukum atas kasus yang
menimpa Idham Samawi.
Untuk sekedar membandingkan, Tribun Jogja (20/3) menurunkan kedua
peristiwa dalam satu berita yang sama di halaman 13 dengan judul: “Haryadi
di Laporkan ke KPK,” (versi online tapi sedikit berbeda) Bahkan porsi foto diberikan lebih besar kepada pihak JAK
yang memampang amplop berisi laporan atas pernyataan Suyuti ke DPRD DIY dan
KPK. Berita pelaporan JAK juga menempati awal pemberitaan dengan mengutip
pendapat perwakilan JAK—Tri Wahyu, baru kemudian disusul berita mengenai aksi PKBB
yang mendukung Suyuti pada akhir berita.
Tribun Jogja, 20 Maret 2015, hal.13 |
Sindo juga
melakukan cara yang nyaris serupa lewat judul “Haryadi Dilaporkan ke DPRD dan
KPK” di halaman 9 (versi online), hanya saja porsi foto
untuk pihak JAK jauh-jauh lebih besar lagi dibandingkan foto aksi PKBB,
peletakannya pun saling bersebelahan dan kubu PKBB menempati sisi kiri
sementara JAK di sisi kanan. Penempatan ini secara visual saja sudah menggiring
persepsi tertentu mengenai dikotomi kanan-kiri, baik-buruk. Sindo juga merangkai berita ini dengan
“Tersangka Persiba Tepis Sangkaan” yang menempel tepat di bawah berita di atas.
Dalam hal ini baik Tribun Jogja
maupun Sindo seakan hendak menggiring
pembaca untuk menyimak lebih dulu (baca: bersimpati) pada keberanian JAK yang
melaporkan pejabat publik setingkat walikota dengan tuduhan menghalangi
penuntasan kasus korupsi dibandingkan bersimpati pada kubu PKBB yang seolah
dicitrakan sebagai pembela koruptor karena justru membela perkataan Suyuti soal
Idham Samawi.
Sindo, 20 Maret 2015, hal. 9 |
Dengan mencermati pemilihan kata pada berita yang dimuat KR diperoleh wacana khusus yang
disampaikan secara ‘lembut’ bahwa Haryadi Suyuti tidak bermaksud menghalangi
pemberantasan korupsi dan bahwa Idham Samawi tidak bersalah dalam kasus dana
hibah Persiba. Wacana ini bersembunyi di
balik kata-kata yang dikutip dari Langga (koordinator PKBB), di mana dia
diperlakukan sebagai pihak “ahli,” pihak yang kata-katanya dijadikan sumber
“kebenaran.” Gaya KR menuliskan
berita pun membuatnya sulit dibedakan antara kutipan dengan opini KR sebagai institusi yang punya
kepentingan di balik kasus ini.
Judul
yang dipilihkan KR untuk artikel ini
pun cenderung sangat bias. Terutama pada kata “kawula.” Benar bahwa
kata ‘kawula’ pada judul sudah memakai tanda kutip, namun KR sengaja memilih untuk memakai kata “kawula” yang memang diambil
dari singkatan PKBB (Paguyuban Kawula Bantul Berjuang) itu sendiri tapi kata “kawula” sekaligus berasosiasi pada rakyat
terpinggir yang siap sedia mendukung pemimpinnya.
Kepemilikan media yang disebut oleh Herman dan Chomsky sebagai
filter pertama memegang peranan paling besar terhadap berita di KR. Idham Samawi adalah orang dengan
posisi tawar politik yang tinggi di Yogyakarta. Rumornya dia dekat dengan
Sultan HB X. Sosoknya jelas berpengaruh pada kemenangan PDIP di Yogyakarta (dan
mungkin suara pemilih Jokowi sebagai presiden). Bukti betapa kuat posisinya adalah
istrinya sendiri saat ini menjabat sebagai bupati Bantul, sedangkan dia sendiri
memenangkan kursi DPR Pusat mewakili PDIP ketika telah menyandang status
tersangka (meskipun konon batal dilantik?). Kenapa pula Haryadi Suyuti melontarkan
pernyataan seperti itu tentu saja tidak terlepas dari faktor-faktor tadi, dan di
antaranya karena berasal dari partai politik yang sama. Pendukung Idham pun
cukup militan dengan hadirnya spanduk-spanduk dukungan (simbolis) di
jalan-jalan sekitaran Bantul. Kenapa KR
yang punya reputasi sebagai koran lokal Jogja tega menyampaikan berita yang bias?
Jika ditilik sejarahnya Idham Samawi sendiri
adalah putra H. Samawi, salah satu pendiri KR.
Meskipun kini tidak memegang KR secara
langsung, namun jelas kiranya jika dia masih berkepentingan di balik
berita-berita di KR. Bayangkan betapa
malunya KR jika putra salah satu
pendirinya dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi. Di sinilah faktor kepemilikan
media bermain.
foto spanduk dukungan kepada Idham Samawi, foto diambil Des 2013 |
Ketiga media ini sesungguhnya bagian dari kerajaan media
yang besar, di mana masing-masing punya kepentingan. KR adalah pemain lama yang telah terlebih dahulu mapan dan punya
nama besar. Ditilik dari sejarahnya, KR
memang terkesan pro pada status quo.
Di saat koran-koran lain mengalami keambrukan KR selamat dari pembreidelan pada 1960-an. Kestabilan ini tentu
menghadirkan kepercayaan warga dan tentu saja para pengiklan.
Dua surat kabar lain yang dibahas di sini bukannya netral
sama sekali. Tribun Jogja adalah
bagian dari grup Kompas-Gramedia yang
bergeser menjadi koran lokal, setelah sebelumnya sempat ada suplemen lokal di
dalamnya. Sebuah pemisahan diciptakan dengan cara menciptakan segmentasi baru
dari harian Kompas yang lebih ingin
berkonsentrasi pada isu nasional. Dengan demikian peluang masuknya pengiklan
secara spesifik bisa dirangkul oleh Tribun
Jogja, dan harus diingat pula bagaimana harian Kompas pada Pemilu 2014 lebih pro pada Jokowi (meskipun tidak begitu
tampak tegas). Sedangkan Sindo
(Seputar Indonesia) adalah ‘anak’ dari grup MNC (beserta seluruh stasiun
televisi) yang dikuasai Hary Tanoesoedibjo, taipan media yang punya ambisi jadi
politisi dan tentu saja punya kedekatan dengan politisi lain. Belum lagi kalau mengingat
partai politik Perindo yang didirikannya, maka kian jelas arah kepentingan dari
setiap berita yang terpampang di lembar Sindo.
Tak terkecuali berita dugaan korupsi yang menimpa Idham Samawi dan pernyataan
kontroversial Haryadi Suyuti, politisi PDIP, partai politik yang untuk sementara
ini menjadi ‘musuh’ politik KMP, tempat Hary Tanoe berafiliasi.
Yah, semuanya ini bersifat sementara. Setidaknya sampai
kepentingannya berubah.
0 komentar:
Posting Komentar