Kesederhanaan yang Berpamrih
Kamis tanggal 11 Juni itu sejumlah
stasiun televisi nasional sibuk menyiarkan secara langsung acara pernikahan
anaknya Jokowi. Beberapa menayangkan sekelebatan, lainnya secara khusus. Di antara
yang menayangkan dalam acara khusus adalah SCTV dan Indosiar, stasiun televisi
yang pada dasarnya satu entitas karena dimiliki satu orang yang sama, serta
Metro Tv yang sudah menjadi ‘stasiun resminya pemerintah’. Keduanya sejak
pemilu presiden 2014 dari segi pemberitaan memang lebih memihak Jokowi
dibanding lawannya. Jika acara siang belum dirasa cukup. Eh, malam harinya
Metro Tv masih menambahkan tayangan special
report buat para permirsa dari acara resepsian di Solo sana.
Satu untuk Jokowi |
Memang untuk Jokowi |
Jokowi to elevate |
Hari ini segalanya bisa dijual,
segalanya adalah lahan bisnis, segalanya bisa dibuat sebagai tontonan. Apa yang
biasanya jadi ranah pribadi atau katakanlah segelintir orang saja, dalam hal
ini pernikahan kini dikemas untuk konsumsi publik. Dan bila sampai menyentuh
publik maka artinya—apapun yang dijual itu—bakal sarat beragam kepentingan. Banyaknya
kepentingan terlebih menyangkut publik (apalagi politik) lalu tak bisa lepas
dari model-model pencitraan. Tak ubahnya acara lain di televisi di mana
penampilan/penampakan non inderawi teramat penting untuk menunjukkan sesuatu, bahkan
sampai hal ‘terkecil’ sekalipun. Jikalau hal kecil itu luput dari perhatian
pemirsa, maka narasi pun akan dinarasikan hingga JELAS sebagai penjelas demi
agar pemirsa berada dalam persepsi yang sama dengan apa yang dimaui oleh
pembuat tontonannya.
Yang kumaksud di sini adalah
citra “kesederhanaan” yang terus menerus digaungkan nyaris tanpa henti
sepanjang penayangan acara pernikahan hingga resepsi. Bahwa setiap elemen dalam
pernikahan ‘sang pangeran’ ini telah dirancang dengan cermat dan disengaja agar
dimaknai sebagai kesederhanaan. Pemaknaan ini lebih-lebih timbul dari
bibir-bibir para pembawa acara dan para komentator (mereka yang ditodongi
mikropon untuk dimintai pendapat). Kesetujuan bersama yang diincar diciptakan lewat
jalan “terlampau kelihatan apa maunya.” Penggunanya lupa bahwa kata
kesederhanaan yang diulang-ulang sesering bayi nyedot susu bukannya tanpa
pamrih. Pamrihnya adalah pengakuan akan kesederhanaan itu sendiri. Sayangnya
usaha pemunculan citra ini berujung lebay.
Kata sederhana ternyata begitu kayaaa
makna. Tidak hanya mengarah pada “dia lebih sederhana dibandingkan orang lain
yang tidak,” melainkan juga “terhitung sederhana mengingat posisinya (yang presiden).”
Padahal “posisi” itu tidak pernah setara. Sederhana buatku cenderung tidak jelas
arahnya. Ia adalah sebuah kata abstrak. Sungguh tidak mudah untuk
mengartikannya atau mendeskripsikan lelaku yang setara dengan “sederhana.” Apa
yang disebut sederhana tentu dikaitkan dengan kenormalan atau kelaziman, sementara
kenormalan atau kelaziman itu sendiri bergantung dari mana kamu berasal dan di
mana kamu tinggal. Bahasa lainnya sih: sederhana itu relatif binti nisbi alias sekarepe udel yang ngarani.
Seperti juga yang terjadi sewaktu
Sultan Jogja yang sekarang bergelar Bawono 10 menikahkan putri-putrinya. Ucapan
bahwa Sultan Jogja adalah orang sederhana dan dekat dengan rakyat beterbangan
bagai gumpalan kapuk dari pohon randu di kala musiman. Alasannya? Karena putri-putrinya
dan suami-suami yang baru menikah itu diarak naik iringan kereta kencana untuk menyapa
para kawulo yang telah merelakan diri berpanas demi menonton mereka.
Untung Aviani malah terlihat lebih hot dengan busana seperti itu |
sederhana sederhana |
masih sederhana |
Di SCTV, Indosiar, dan Metro Tv
para pembaca berita televisi tiba-tiba beralih jadi pembawa acara. Mereka digiring
didandani untuk jadi orang Jawa dalam sehari dengan memakai baju tradisional
gaya Jawa. Rupanya biar sesuai dan senuansa dengan acara yang dibawakan:
pernikahan orang Jawa dengan adat Jawa yang kebetulan anaknya presiden. Mereka menjadi
agen-agen profesional pelafal betapa sederhananya pernikahan tempo hari. Mulai dari
kereta kuda, musik gamelan pengiring rombongan, acaranya itu sendiri,
keberbauran tamu undangan dengan paspampres, kebernontonan penonton di TKP
(tempat kejadian pernikahan), dll. Semuanya tersemat label sederhana.
Sedangkan Anies jadi penegas |
Di Metro Tv Mudji Sutrisno dan Anies Baswedan turut kebagian jadi pemuji-muji alias komentator. Komentarnya
pun seragam dengan yang digembar-gemborkan pembaca acara: sederhana, sederhana,
sederhana, layaknya warga biasa, layaknya warga biasa, layaknya warga biasa. Sungguh
sesi komentar yang mubazir. Bahkan Kompas Tv pun ikut-ikutan mengomentari jamuan
makanan yang berupa tengkleng yang dulu adalah sajian orang tak berpunya; minuman
gula asam beras kencur yang khas desa; sampai busana resepsian Gibran-Selvi, apalagi
jika bukan: Iya, sederhana!
Tengkleng itu sederhana (meskipun tetap ada dagingnya) |
tidak begitu sederhana bukan? |
Oh media-media, berkat engkau-engkaulah
saat ini “sederhana” sudah inheren dengan Jokowi. Sangat melekat dan tak
terpisahkan. Hubungan antara Jokowi dengan sederhana sudah macam petanda dengan
penanda. Semua orang lantas setuju dan iya-iya saja.
Andai dunia ini adalah dunia
alternatif di mana Jokowi kalah dalam pilpres lalu atau malah kalah di pilgub
Jakarta, maka bisa dipastikan tak akan ada media nasional yang mau peduli
dengan pernikahan Gibran, anaknya Jokowi. Kenapa media nasional mau
menayangkan? Ya karena Jokowi itu presiden. Andai yang menang pilpres adalah
Prabowo maka yang terbahak-bahak sekarang ini adalah Abu Bakrie. Dan kita semua
kemungkinan akan menyaksikan tontonan helatan akbar pernikahan rujuk Prabowo
dengan mantan istrinya, Live di Antv dan TvOne memang beda. Entah gimana kedua stasiun televisi ini mengemas pernikahan
sebagai sesuatu yang “tegas” setegas Prabowo.
Tapi setelah kupikir-pikir
pengandaian terakhir pun tidak lebih baik. Duh...
(Jino Jiwan)
0 komentar:
Posting Komentar