Dari Kiskendo ke Seplawan
Awal November 2015 kemarau di
Jogja sedang memasuki masa akhir. Rencana dolan ke pantai terpaksa ditunda
hingga suasana lebih adem ayem. Tujuan dialihkan ke goa-goa di sisi barat
Jogja, dari Kulonprogo hingga Purworejo, dari Kiskendo ke Seplawan. Kali-kali
aja dengan menyambanginya aku akan mendapat kesejukan dalam rupa wangit di tengah temaramnya goa.
Goa Kiskendo dan Seplawan cukup
gampang dicapai melalui Godean dari arah Jogja. Tinggal lurus terus mengikuti
jalan Godean hingga mentok perempatan. Dari perempatan ambil terus jalan lurus
menuju pegunungan Menoreh lalu ikuti petunjuk jalan dan... intuisi. Iya serius,
intuisi. Kamu perlu intuisi soalnya mau nanya orang juga gak bisa wong gak banyak orang lalu lalang
sepanjang jalan apalagi di hari Minggu. Dulu sewaktu aku mencoba mencari jalan
ke kebun teh Nglinggo saja sempat nyasar. Tapi itu lebih akibat kepedean sok
tahu jalan (dan) juga karena gak banyak orang untuk ditanyai arah *tetap
nyalahin orang lain*. Tidak mengapalah, nyasar adalah bagian dari kehidupan. Di
situlah keseruannya!
Meskipun rutenya gampang dan
jalannya telah diaspal namun melewatinya tetap saja tidak mudah karena jalurnya
bisa dibilang sempit, penuh kelokan tajam, dan tanjakan yang bisa bikin motormu
ngeden. Sangat tidak disarankan
memakai motor matik berboncengan terutama bagi pengendara yang kurang berpengalaman.
Jika di musim kemarau musuhnya adalah debu, kerikil, dan pasir kering di jalan
yang kadang dapat merepotkan apalagi kalau ban motormu aus, di musim hujan aku
yakin tingkat kelicinan bakal meningkat sehingga kamu perlu waspada. Tangan dan
kaki harus tegar menguasai stang dan rem.
Selama perjalanan kamu mungkin
bakal sering berhenti seperti yang aku lakukan. Apalagi di musim kemarau Pegunungan
Menoreh yang menggersang beralih jadi kuning-coklat. Sungguh sayang jika dilewatkan
tanpa difoto.
Kemarau di Menoreh (mungkin mengilhami Api di Bukit Menoreh) |
Menurut seorang kawan yang
pernah berkunjung ke Goa Kiskendo sebelumnya. Pada hari biasa lampu di dalam
goa tidak dinyalakan sehingga kalau pengunjung mau masuk goa perlu membawa
senter sendiri (itupun jika berani), atau menggunakan jasa pemandu, tentu
dengan biaya ekstra (itupun si pemandu juga tidak selalu siap sedia). Maka akan
sangat bijak datang ke sana pada akhir pekan. Bukan apa-apa sih, selain karena
lampu di dalam goa dinyalakan, alasan lain adalah supaya ada teman sesama
pengunjung. Kecuali jika kamu memang berniat mau menyendiri untuk bertapa dalam
goa. Aku tidak bercanda ngomongin masalah bertapa ini. Sebab goa ini memang awalnya
kerap dipakai bertapa. Hampir setiap sudut dan ujung percabangan goa adalah lokasi
untuk semedi. Pengelola bahkan melengkapi setiap titik pertapaan dengan papan
nama, karena rupanya setiap titik tersebut punya fungsi masing-masing (kurasa).
Goa Kiskendo, ruang bagian tengah |
Titik pertapaan dengan nama-namanya |
Secara keseluruhan goa ini
cukup gelap walaupun sudah ada penerangan. Penyebabnya adalah lampu hanya
segelintir dan peletakannya tidak strategis. Lampunya pun hanya lampu biasa yang
sering dipakai menerangi rumah, bukan model lampu sorot warna-warni seperti di
Jatijajar atau Goa Gong. Kami (aku dan kawan) masuk cuma bermodal sebuah kamera
D90 yang sesekali disorotkan menjadi semacam senter. Belum terlalu jauh dari
mulut goa, tangga yang menuntun ke dalam perut goa sama sekali tidak terlihat.
Kami terpaksa harus meraba-raba pegangan dan anak tangga, maju perlahan-lahan.
Salah satu ujung Goa Kiskendo |
Beberapa lampu di ujung goa dibiarkan
mati dan belum diganti sehingga gelap total. Mungkin memang disengaja untuk
menunjukkan bahwa itu adalah ujung goa, akhir dari langkah dan peringatan agar
kami balik badan. Walaupun sebenarnya kamu akan bisa melihat bahwa goa belum
berhenti di situ dan masih ada lorong yang mengharuskan orang merangkak jika
mau lanjut. Rendahnya langit-langit goa membuat udara bergerak kurang leluasa,
sehingga berada di dalamnya terasa agak gerah dan sumpek. Setelah mentok di
setiap ujung goa kami keluar meninggalkan Kiskendo menuju Seplawan.
Dari Goa Kiskendo jarak Goa Seplawan
masih 8 km. Jarak yang tidak seberapa jauh namun ternyata Seplawan sudah berada
di wilayah Purworejo, Jawa Tengah. Jalannya lebih sempit dari arah
Godean-Kiskendo. Uniknya jalan menuju ke Goa Seplawan mengarah langsung ke
gerbangnya (dengan kata lain ini adalah “jalan buntu”). Tidak perlu khawatir
tersesat karena sudah ada papan petunjuk ke arah Seplawan di setiap persimpangan
jalan.
Hutan pinus menuju ke Seplawan |
Jika ingin berkunjung ke Goa
Seplawan sebaiknya tidak di musim hujan. Setidaknya itu yang tertulis pada
papan peringatan di luar bahwa di musim hujan air bisa meluap dan kalau sampai
meluap pengunjung diminta mencari tempat yang lebih tinggi lalu menunggu
bantuan datang. Semula aku tidak mengerti mengapa mesti ada peringatan semacam
ini. Aku sama sekali tidak mendapat gambaran seperti apa di dalam goa (dan memang
sengaja tidak mencari tahu). Ternyata yang dimaksud air bisa meluap adalah
karena goa ini bukan jenis goa yang menyediakan jembatan pun jalur pejalan dari
corblok. Bagian dalam goa masih asli dan sepertinya memang sengaja dibiarkan
seperti itu. Goa Seplawan adalah sungai bawah tanah dan pengunjung ditawari pengalaman
menyusurinya bagai seorang petualang di acara wisata di tivi.
Sungai dalam Goa Seplawan |
Bagiku yang masih awam soal
per-goaan, Goa Seplawan bisa disebut unik. Batu-batunya coklat kehitaman,
bukannya putih. Stalaktit dan stalakmit tidak bertebaran. Malahan goa ini lebih
layak disejajarkan dengan kata “terowongan.” Sebuah terowongan yang alamiah
tentunya. Di banyak bagian atap goa bisa setinggi bangunan tiga-lima lantai.
Aku jadi membayangkan kalau bisa membangun rumah dalam goa akan kubuat macam
menara. Dengan begitu rumah itu akan menjadi salah satu rumah terkeren sedunia:
menara dalam goa.
Lorong/terowongan Goa Seplawan |
Tips susur Goa Seplawan adalah
pakailah sandal/sepatu yang memang dirancang untuk susur goa: kedap air dan
anti selip. Lantai goa bisa sangat licin akibat endapan lumpur dan karenanya
pengunjung disarankan berjalan justru di sungainya, seperti yang dilakukan kebanyakan
pengunjung hari itu. Keberadaan air di sungai sekaligus membantu mengurangi
selip di kaki (terutama buat yang mengarunginya sambil telanjang kaki).
Sayangnya dasar sungai adalah batuan yang lumayan tidak nyaman di telapak kaki
(atau boleh dibilang tajam). Makanya itu kamu butuh alas kaki yang mumpuni.
Di musim kemarau air dalam goa
cukup dangkal. Air masih di bawah lutut rata-rata orang dewasa. Aku tidak yakin
apakah ini berkah atau bikin susah. Sebab andai airnya lebih tinggi sedikit
pastinya ia tidak akan sekeruh seperti ketika aku berkunjung ke sana. Kurasa
penyebabnya adalah kaki-kaki pengunjung yang tiada henti mengaduk lumpur dari
dasar sungai lalu ikut membawanya ke tepian.
Dan, oh hindari pakai rok.
Bukan apa-apa sih, kesenengen aja cowok-cowok kalau liat rok diangkat
tinggi-tinggi. Jangan lupakan pula senter! Goa ini memang lebih terang
dibandingkan Kiskendo namun tetap saja gelap. Lagi pula lebih asyik jika bawa
senter sendiri kamu akan bisa memasuki lorong tersembunyi tanpa pemandu. Mungkin
malah di lorong tersembunyi inilah hadir wangsit tersembunyi.
Batas wisata: silakan lanjut jika mau bunuh diri. |
Ketikan oleh JinoJiwan
0 komentar:
Posting Komentar