Jalan Berliku Embung Batara Sriten
Barangkali salah waktu,
awal musim hujan 2015 dipadu dengan topografi Gunung Kidul yang memang keras
melengkapi penderitaan motorku dan kedua lengan ini dalam perjuangan menggapai
puncak tertinggi kabupaten yang dikenal dengan objek wisata pantainya. Butuh
lebih dari pengalaman bermotor demi menaklukkan tanjakan dan turunan: yaitu
niat bin tekad. Tapi aku terlalu menyanjung diri bila memanfaatkan kata-kata
barusan, lebihlah tepat dikatakan: terlanjur
basah kepalang tanggung, this is the
point of no return *nyambung gak?*
Tempat wisata yang dituju
rombongan kami bernama Embung Batara
Sriten. Sebuah embung di Gunung Kidul yang satu paket dengan puncak Tugu
Magir dan tergolong masih baru. Rencananya (menurut blog-blog sebelah) tempat
ini akan dibangun menjadi kebun buah kelengkeng dan manggis. Gak jelas alasan
kenapa mereka memilih manggis. Padahal manggis kan sudah ada ekstraknya ya? Ha
ha.
Embung Batara Sriten |
Tidak ada papan penunjuk
menuju lokasi dari jalan utama. Jadi dengan bijaknya meski terlambat (setelah
yakin bahwa kami sudah kebablasan), kami menanyakan arah dan rute kepada warga
sekitar yang bisa ditemui dengan mudah di pinggir jalan. Seharusnya kami mulai
mengurangi laju motor begitu melihat deretan bukit di sisi utara jalan yang
mengarah ke Nglipar dan lalu Klaten. Patokannya cukup jelas: Kantor Kepala Desa
Pilangrejo, tapi rombongan kami melewatkannya. Dari sini tinggal ambil ke utara
atau ke kiri kalau dari arah Sambipitu.
Kantor Kepala Desa buat patokan |
Lembaran petunjuk lokasi
yang sudah mulai pudar warnanya baru terpampang di sejumlah titik di jalan
masuk kampung. Tujuan pemasangannya seperti memastikan bahwa kami tidak salah
ambil jalan (sekaligus meyakinkan pengunjung tidak salah jurusan). Walau
sebenarnya papan petunjuk tidak benar-benar dibutuhkan karena kamu toh hanya
perlu menduga bahwa jalur yang akan membawamu ke atas adalah hampir selalu
jalur yang menanjak.
Penunjuk jalan yang nyempil dan mungil |
Awalnya jalan aspal terhitung
mulus untuk ukuran desa. Tapi setelah melintasi sebuah masjid (Abu Bakar Asy
Sidiq). Tiba-tiba jalan terjal meliuk tajam, mendaki, dan menurun, terhampar
tanpa ampun sejauh 4 km! Semua ini diperparah dengan selang selingnya jalan
corblok yang di banyak titik remuk redam, merekah pecah bersatu dengan batuan runcing
dan juga tanah merah lembek. Juga tidak dilupakan bagaimana jalan cukup sempit
(hanya seukuran satu mobil), itupun tanpa pagar pembatas dari jurang menganga
di satu sisinya. Sesekali kami bersua dengan papan peringatan yang meminta
pengendara pindah ke gigi satu dan mengecek kondisi rem (sebuah peringatan yang
harusnya direntangkan jauh jauh sebelumnya). Sungguh sebuah kondisi yang sangat
tidak beradab lagi tidak berperikemanusiaan (bagi manusia modern yang terbiasa
dimanjakan jalan aspal). Pendeknya, esktriiim!
Jalan corblok yang belum parah banget, buat peringatan apa yang akan menantimu di depan sana |
Kemahadahsyatan jalan
ini membikin aku terpana ketika tahu bahwa masih ada pemukiman (mungkin perkampungan)
di atas sana. Gak kebayang kalau ada warga yang punya urusan gawat darurat
(misalnya harus ke rumah sakit segera). Dia harus menerobos jalan yang hancur
lebur. Kenyataan macam ini kemungkinan besar berandil pada sikap tangguh warga
sana. Dan itu dengan jelas terlihat. Beberapa kali kami berpapasan dengan warga
(dan anak SMA) menggilas jalanan nan brutal, meninggalkanku yang terheran-heran
sekaligus tersalut-salut. Aku jadi merasa segan mengeluh. Warga desa di sana
sudah lama mengalaminya hingga “penderitaan” tidak lagi terasa bagai
penderitaan.
Sekedar buat perbandingan,
jalan ke Embung Batara Sriten lebih parah daripada ke Embung Nglanggeran.
Ketika mengunjungi Embung Nglanggeran di tahun 2014 jalan berbatu-tanah masih
lebih lebar dan terasa lebih aman karena kamu cukup berjarak dari tepian jurang.
Kira-kira setaralah dengan jalan ke Pantai Timang Gunung Kidul. Aku sendiri ragu
bila dalam dua-tiga tahun sudah ada langkah berarti untuk mengubahnya jadi jalan
aspal *agak sok tahu sih emang*. Paling pol corblok, itu pun gak akan mencakup
seluruhnya dari pucuk bukit hingga bawah.
Di tepian embung (foto oleh Yant) |
Sampai di tujuan badan
ini begitu letih, ngilu-ngilu, dan tenaga terkuras. Padahal aku nyetir motor
sendirian, gak berboncengan. Apakah semua itu terbayar? Aku berani bilang hell yeash! Pemandangan sekeliling dari
embung dan puncak tertinggi Gunung Kidul amat (aku tidak punya kata-kata lain
untuk mengungkapnya)...indah...amazing...spektakuler,
biarpun agak mendung. Tapi jika boleh memilih aku akan memilih untuk tidak
melewati jalan yang gak manusiawi barusan. Kalau punya, datanglah ke embung
pakai helikopter saja. Tempat parkirnya tinggal milih, wong cukup sepi.
Embung menghijau |
Pemandangan dari atas, Rawa Jombor Klaten pun terlihat (foto oleh Yant) |
Embung Batara Sriten
tidak seluas Embung Nglanggeran. Namun itu hanya kesan sekilas karena bentuknya
yang agak segitiga. Barangkali dari segi angka luasnya nyaris mendekati. Di
rumah aku mengukur panjang dan lebar kedua embung via Google Earth. Panjang Embung Batara Sriten mencapai seratusan
meter, sedangkan Embung Nglanggeran sisi terpanjangnya ‘hanya’ sekitar 80
meter. But, size doesn’t matter, right?
Karena yang dijual dari kawasan Batara Sriten adalah pemandangan puncak
tertinggi Gunung Kidul: Puncak Magir yang... entah kenapa kok ada makamnya dan
entah makam siapa pula itu. Jika boleh kukomentari *tentu boleh kan ini
blog-ku* itu makam bad ass banget!
Lebih mewah, sejuk, dan syahdu, daripada San
Sicko Hills di Karawang. Bayangin, dia sendirian menikmati panorama seajaib
ini siang-malam.
Makam orang hebat |
Blog-blog tetangga mengembel-embeli
lokasi ini dengan “embung di atas awan” atau semacam itu sehingga awan-awan
akan tampak menggantung dari sana. Hm..., jangan percaya! Awan punya ketinggian
setidaknya 2000 meter dari tanah. Sementara Puncak Magir hanya 859 meter. Kalau
yang dimaksud adalah awan-awan terasa lebih dekatpun sebenarnya tidak juga.
Tapi tidak perlu buru-buru kecewa sebab pemandangan dari puncak tertinggi
mencapai 360°. Itupun kalau kamu berani menapaki pucuk bukit yang lumayan curam
di tengah cuaca suram (Ingat! Aku datang pas awal musim hujan). Tiada pembatas
antara kaki dengan jurang jadi lihat-lihat kemana kamu melangkah. Waktu aku
mencoba berdiri di tugu mungil saja tubuh ini bergetar, takut bila sampai jatuh
bergulung-gulung atau diterbangkan angin. Iya, angin berembus kencang, tambahan
lagi badanku kurus.
Tugu di puncak (foto oleh Yant) |
Pemandangan dari puncak (foto oleh Yant) |
Petuah yang bisa
kusumbangkan adalah: datanglah ke embung pada akhir musim hujan-jelang musim
kemarau. Karena dijamin saat itu adalah saat yang paling tepat. Embungnya pasti
akan lebih segar karena penuh terisi air tidak seperti saat kami yang
mendatanginya di awal musim hujan, air di embung kelihatan kurang penuh. Musim
hujan bukan hanya memperburuk keadaan jalan, mengubah tanah menjadi lumpur
kemerahan yang sangat mencintai ban kendaraan, saking lekatnya. Selain itu di awal
musim kemarau tetumbuhan juga pasti akan lebih hijau dan pandangan akan bebas
dari mendung.
Pucuk bukit tertinggi di Gunung Kidul di awal musim hujan: mendung, rumput kering, dan sampah bertebaran |
Gunakan motor non matik.
Pilihan motor bukan hanya mempermudah saat menanjak tapi juga menurun. Semula
aku membayangkan betapa tidak mungkin naik ke sana pakai mobil dan betapa kerasnya
kerja seorang sopir mengendali mobil, sehingga membuat mobil tampak bagai
kendaraan opsi terakhir, nyatanya toh ada mobil jenis Carry selamat mendarat di puncak. Tapi seprima-primanya pilihan
kendaraan dan sejago-jagonya sopir, masih lebih baik jika menanti hingga
jalannya sudah beres (dua-tiga tahun lagi?).
Sering orang (sok) bijak
mengatakan bahwa hal paling indah bukanlah sampai di tujuan, melainkan
perjalanannya itu sendiri, atau kira-kira seperti itu. Menurutku orang ini
belum pernah merasakan nyetir sepeda motor ke Embung Batara Sriten atau minimal
Pantai Timang, so fak yu!
This is a nice place to scream "Fak Yu!" (foto oleh Yant) |
0 komentar:
Posting Komentar