Film Dokumenter Menurut Nia Dinata
Sejatinya
ketikan ini bermula berbulan-bulan lalu ketika prodi Kajian Budaya dan Media UGM
menyelenggarakan pemutaran dan diskusi film produksi Kalyana Shira bertajuk Buka(n) Rahasia di Joglo Dusun Terung. Kedua
film yang diputar adalah Pertanyaan Untuk Bapak dan Emak dari Jambi. Film pertama menceritakan seorang gay bernama Yatna yang pulang kembali
ke kampung halamannya untuk menemui Sang Bapak yang dulu telah mengoyak masa lalu dan menghantui masa depannya. Sedangkan film Emak
dari Jambi bertutur mengenai seorang ibu dari kampung yang datang ke
Jakarta untuk menemui putranya yang ternyata kini adalah seorang waria. Mumpung isu LGBT sedang hangat, hari
ini kuunggahlah ketikan ini meskipun gak nyambung-nyambung amat.
EDIT |
Dokumenter sesungguhnya...
Dalam diskusi film
tanggal 22 Agustus 2015, Nia Dinata selaku produser film menegaskan bahwa film-film
dokumenternya dibuat tanpa menggunakan skenario. Saat membuat film Pertanyaan Untuk Bapak dan Emak dari Jambi, kru film (termasuk dia)
sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dan bagaimana akhir filmnya
nanti. Berbeda dengan “film dokumenter” yang umum ditayangkan Discovery Channel atau National Geographic atau film dokumenter
yang berkarakter etnografis
lain (misalnya tentang kehidupan
suatu suku di mana kegiatan sehari-hari yang diperagakan di depan kamera masih
bisa diulang), film dokumenter
buatannya bukan mereka-reka adegan sesuai kemauan.
Yang menjadi kontradiksi
adalah ucapan Nia berikutnya.
Bahwa bahan-bahan film ini nantinya toh akan DIEDIT juga.
Nia as the maker of what documentary film is |
Buatku bagaimanapun juga
film dokumenter hadir dalam format film yang (tujuannya) akan
ditonton orang [banyak]. Jadi sebisa mungkin akan dibuat “menghibur,”
atau dibuat agar menjadi cup of tea-nya
para calon penonton. Pada kenyataannya film Pertanyaan
Untuk Bapak dan Emak dari Jambi
toh bisa tetap tampil menghibur meski (katanya) tidak memakai skenario.
Aku
melihat beberapa metode ditempuh oleh pembuat film supaya filmnya sanggup “menghibur” penonton. Salah satunya terletak pada bagian editing
yang diakui oleh Nia sendiri. Lewat editing ini film dokumenter sebetulnya
sedang dibentuk agar punya “cerita.” Itu makanya kedua film dokumenter,
terutama Pertanyaan Untuk Bapak bisa
tersaji layaknya cerpen, atau dengan kata lain film ini bagai cerpen yang divisualkan (catatan: versi novelnya berjudul Pertanyaan untuk Ayah). Ambil pengandaian begini, ada seorang yang akan membuat kue dengan bahan-bahan mentah
seadanya karena orang ini setelah belanja ke pasar hanya mendapat bahan
seadanya. Hal demikian tidak lantas berarti kuenya akan tampil kurang menarik
atau rasanya kurang enak. Jadi menurutku tetap ada “skenario” tapi bukan
skenario biasa yang dikenal dalam pembuatan film feature. Tidak mungkinlah film
yang dapat saja berbujet tinggi dibuat serba apa adanya hanya
karena “pemerannya” bertingkah apa adanya/semaunya atau
apa yang terjadi ya terjadilah.
Bisa dibayangkan bagaimana penonton ditempatkan dalam dokumenter? |
Hal-hal teknis di
lapangan saat pengambilan gambar menguatkan dugaan ini. Sudut-sudut kamera
tampil bukan seperti dokumentasi biasa (dalam arti semisal kalau kita ambil foto teman-teman
kita) atau tampil seperti kamera
wartawan dalam meliput/mereportase suatu insiden. Sudut pengambilan gambar film
dokumenter sudah berdialog dengan film-film feature.
Sehingga batas antara yang disebut dokumenter dengan fiksi seperti bertumpukan.
Sudut pengambilan gambar
sudah dibentuk sedemikian
rupa untuk mendukung ‘skenario’ yang
dapat menyudutkan atau mendukung
suatu ideologi via visual. Bahan
mentah yang sudah berpihak inilah yang lalu diolah
dalam proses editing.
“Cerita” dibangun dari sana dengan segenap penghilangan-penghilangan yang hanya
pembuatnya yang tahu. Itu makanya kamu tidak
akan melihat para “pemeran” berbicara kepada produser film atau kameraperson
yang jelas hadir di situ, padahal
hampir pasti perbincangan itu terjadi. Semua disengaja demi membangun yang katanya dokumenter dan tak diskenariokan ini menjadi kurang-dokumenter.
0 komentar:
Posting Komentar