DKV yang Pasaran
Jelang akhir Januari sebuah
laman internet menampilkan kabar Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bentukan Jokowi tengah membuka lowongan
posisi non-pegawai tetap bagi lulusan S1 DKV yang akan ditempatkan dalam Deputi
Pemasaran. Persyaratannya standar, bahkan teramat standar: pelamar ber-IPK
minimal 2,75, usia minimal 21 tahun, dan tentunya bisa menggunakan aplikasi
editing gambar (Corel, Photoshop,
Illustrator). Modalnya cukup CV dan portofolio. Entah sebagai apa dan apa
spesifikasi kerjanya, tapi yang penting keren, ya kan? Karena akhirnya lulusan
S1 DKV diakui (baca: dibutuhkan) oleh pemerintah (atau negara?) setelah selama
ini hanya disedot oleh industri yang melahirkan DKV itu sendiri.
Pertama,
aku ingin menyampaikan betapa sempitnya cakupan bidang Bekraf yang diadopsi mentah-mentah
dari istilah “industri kreatif” (creative
industry) ini. Adalah sebuah langkah yang baik ketika ia dipisahkan dari
kementrian pariwisata. Sayang bidangnya masih secara spesifik melingkupi bidang
“pariwisata” dan mengarah pada produk tertentu belaka (film, musik, animasi,
desain komunikasi visual, arsitektur, dll), lengkap dengan perspektif yang mengarah
pada penciptaan mesin-mesin uang. Tidak mengherankan memang mengingat pemilihan
nama “Ekonomi Kreatif” sudah cenderung memihak orientasi ekonomi(s), yaitu
sesuatu yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Penyertaan kata “kreatif” yang
menyusul “ekonomi” mengandaikan ada ranah yang tidak kreatif. Kenapa tidak kreatif?
Ya karena tidak cukup punya nilai ekonomi.
Mengapa
Bekraf tidak berani meluaskan cakupan apa yang dikategorikan “kreatif” ini atau
meredefinisi apa yang disebut/masuk kategori ke-kreatif-an? Yang disebut
kreatif tentu lebih luas dari bidang-bidang yang sebagian kusebut di atas. Tidakkah
orang yang membuka perpustakaan keliling dengan bermodal kuda atau motor juga layak
disebut kreatif? Lagipula untuk sebuah lembaga resmi pemerintah dengan nama
yang berani melabeli dirinya “kreatif,” persyaratan yang diajukan untuk
rekrutan pegawainya sangat tidak kreatif. Persyaratannya sama persis dengan yang
dibutuhkan perusahaan-perusahaan yang mencari tenaga desainer komvis. Tak
bisakah Badan Ekonomi yang KREATIF ini
memilih memakai jasa desainer
lepas? Apakah alasannya
sama dengan perusahaan yang memandang pekerja lepas (freelance) lebih mahal karena dibayar per proyek dibanding pegawai
yang dibayar rutin setiap bulan?
Poin
kedua adalah kenapa Bekraf buru-buru menetapkan dan mengharuskan pelamar punya ijazah S1? Apa
supaya pemerintah nampak peduli pada “industri kreatif” dan DKV sebagai penghasil desainer komvis? Bahwa mentang-mentang
pemerintah punya Bekraf lalu DKV pun lantas berubah menjadi pencetak orang ‘kreatif’?
‘Kreatif’ yang berpandangan sempit itu?
Jika persoalannya adalah
kemampuan menggunakan aplikasi (software) olah gambar, sekarang bukan hanya lulusan D3 dan SMK yang
harus dihadapi lulusan S1, tapi mereka yang menuntaskan kursus desain grafis pun berpotensi
jadi ancaman atau mereka yang belajar secara otodidak karena punya minat. Jika bukan
karena batasan usia, anak SD pun sudah banyak yang jago pakai Corel,
Photoshop, dan Illustrator. Jadi tidak ada alasan Bekraf membatasi pelamar hanya
pada lulusan S1. Sehingga dengan kata lain Bekraf (yang kreatif itu) ingin
mengatakan bahwa keunggulan lulusan S1 DKV terletak hanya pada ijazahnya, yang
pada sisi lain mau bilang bahwa lulusan S1 dibutuhkan hanya karena keahlian
mereka memainkan software olah
grafis.
Aku TIDAK
HENDAK berargumen bahwa “lulusan S1 DKV bukan hanya terampil menggunakan software olah grafis tapi desainer komvis juga (harus) bisa
mengidentifikasi masalah, memecahkannya dengan solusi visual lewat riset yang
melibatkan sekian lintas bidang keilmuan sehingga pesan nantinya bisa sampai ke
benak audiens bla bla bla bla” dan
segenap idealitas omong kosong yang diajarkan oleh para dosen dan ditanamkan sekian
buku-buku yang membicarakan desain grafis. Karena idealisme macam ini ujung-ujungnya
hanya satu, yaitu (efektivitas) jualan. Rencana Bekraf yang akan menempatkan
rekrutan tenaga desainer komvis ke Deputi Pemasaran kian menerangkan hal ini.
Perspektif DKV perlu
menjauh dari
nalar-nalar pemasaran yang agak malu-malu mendasari
pemikiran DKV secara umum yaitu kesuksesan penanaman pesan kepada audiens tadi. Hanya karena DKV sebagai disiplin akademik muncul dari industri bukan berarti DKV masih perlu/harus melayani
kemauan dunia industri yang serba ingin cepat dan efektif (menjual) sekaligus
sempurna. DKV perlu secara bertahap mengurangi
perannya sebagai penjawab kebutuhan
pasar akan profesi
desainer komvis dan profesi sayap DKV lainnya: animator, ilustrator,
fotografer. Prodi
DKV perlu percaya diri keluar dari kebangaan di kala lulusan/alumnusnya (berhasil)
bekerja di perusahaan sebagai tenaga desain.
DKV
bukan lagi hanya perkara mengidentifikasi masalah-mencari solusi-memecahkan
masalah. DKV perlu dibawa ke arah memberi pilihan-pilihan yang memberdayakan dan
bukan hanya perkara cari duit belaka. Pilihan-pilihan ini bersifat luas dan sangat
mungkin keluar dari wilayah keprofesian yang menyempitkan. DKV yang non
normatif terutama dalam menilai desain yang berada di luaran kerigidan kaidah
komvis. DKV yang tidak menganggap desain karya anak SMK/lulusan kursus sebagai sampah
visual yang harus dididik atau diredesain hanya dengan alasan tidak efektif
menanamkan pesan atau kurang “estetis.” DKV yang non-eksklusif sebagai milik
kita semua. Dengan begini mungkin DKV tidak akan memandang sempit dirinya dan
apa yang disebut kreatif bakal jauh lebih luas.
0 komentar:
Posting Komentar