Petulangan Fanji
Pada
mulanya Kamu melihat warna kehijauan yang kabur. Lalu makin jelas. Tampak
kerimbunan pepohonan hijau berhias semak-semak. Kemudian tebing dan batuan,
disusul langit kelabu berawan. Musik yang sok tegang mengentak-entak mengusikmu.
Sesosok misterius meloncat dari tubir jurang ke bebatuan, tapi kelihatan sekali
kalau itu bukan orang sungguhan melainkan efek murahan seperti yang sering hadir
di sinetron IndiaSiar. Kemudian…
“Halo
para permirsa di rumah, namaku Fanji.” Tampak seorang pemuda tanggung berambut
mi instan meringis menyapamu yang sedang tiduran santai di depan tivi. Kamupun
sebagai penggemar acaranya jadi terbangun semangat untuk menikmati selama
setengah jam ke depan…Petulangan Fanji!
Ini (anggap saja) Kamu |
“Di
episod kali ini aku akan menangkap 50 jenis ular dalam sehari untuk memperlihatkan
betapa piawainya saya, yok ikuti aku.”
Fanji mengajak ke arah pemirsa. Dengan langkah malas Kameramen pun terpaksa
menuruti kegilaan Fanji. Andai ia tidak diasuransikan untuk keracunan ular oleh
pihak tivi ia tidak akan rela ikutan ini acara. Si Kameramen mungkin lebih
memilih meliput perang di Palestina. Paling tidak biar bisa mati syahid
sekalian, lah ini risikonya mati
dipatok ular. Duh!
Fanji
berjalan nyekerman di pematang sawah.
Tingkahnya amat waspada dan beberapa kali memeringatkan
Kamu sebagai pemirsa untuk diam. Kamu pun mengangguk setuju, diam. Ia sesekali
melompat maju lalu mundur bagai orang yang ikut lomba balap karung sambil
ngisep lem. Mata Fanji tajam bagai burung garuda hendak mengincar tanaman
kacang. Ia melihat sesuatu.
“Saya
melihat sesuatu pemirsa.” Fanji menoleh ke kamera. Musik tegang kembali
dimainkan.
Ini (anggap saja) Fanji |
Fanji
mengendap. Dia melepas sepatunya. Gerakan itu membuat buruannya kabur. Ia
menunjuk pergerakan serupa huruf S pada
genangan air sawah di sela-sela tanaman padi yang masih imut-imut. Tahu-tahu ia
meloncat menerkam Si Ular. Begitu cepatnya sehingga harus di slow motion. Ia bergumul dan bergulung. Kameramen
yang amat terinspirasi seri film Bourne tak
menyiakan kesempatan, ia langsung mengocak-ocak kamera tiada karuan. Kamu pun
langsung ikut merasa tegang sekaligus bingung dengan apa yang terjadi. Berhubung
tayangan yang tersaji seperti diambil langsung oleh Muhammad Ali. Satu-satunya hal
yang Si Kameramen sukai dari Petualangan Fanji adalah bagian ini, karena ia merasa
berbakat di sini. Ia heran mengapa Paul Green-Grass tidak kunjung merekrut dia.
Pergumulan
memakan durasi hingga nyaris sepuluh menitan. Sawah yang ia terjang pun hancur kabur
tak tentu rupa. Baju dan muka Fanji terhiasi lumpur. Tiba-tiba ia tak bergerak dalam
posisi tengkurap. Perasaanmu teraduk-aduk campur baur. Apakah Fanji baik-baik saja?
Tanyamu dalam hati.
Fanji
bangkit. Dia terlihat sumringah, bahagia layaknya seorang ayah menggendong anak
pertamanya, ia tengah menggenggam leher ular sawah! Dari ekspresinya ular malang
itu kelihatan kesal karena ia sudah terlambat untuk kencan dengan ceweknya,
tapi apa daya ternyata Fanji lebih ingin berkencan dengannya.
Fanji
lalu memberi ceramah ilmu tentang ular dengan gaya meyakinkan namun entah
mengapa tidak betul-betul membuatmu yakin. Tapi toh Kamu mengiyakan saja.
“Liat
pemirsa, ini namanya ular sawah. Disebut ular sawah karena…ia tinggal di sawah.
Kalo dia tinggal di rumah maka namanya jadi ular rumah,” ujar Fanji bangga. “Sama
sepreti kuda laut, anjing laut, atau burung gereja, mereka disebut begitu
karena habitatnya memang di situ.”
Kameramen
geleng-geleng kepala. Kamu tahu itu karena kamera juga jadi ikut gerak ke kiri
ke kanan. Dalam hati Si Kameramen berdoa agar Tuhan mengampuni kesoktahuan
Fanji.
“Kenapa
kamu?!!” bentak Fanji heran pada kelakukan Kameramen.
“Ah
nggak, cuma biar lebih dramatis aja.” jawab Kameramen. Entah mengapa Kamu yang
dirumah bisa mendengar perdebatan ini. Mungkin disengaja oleh tim produksi demi
menambah kesan realistik.
Dengan
keterampilan tingkat tinggi Fanji lalu membuka rahang ular hanya menggunakan kelingking
kirinya. Ia meminta Kameramen mendekat agar Kamu yang duduk resah dan khawatir
akan keselamatan Fanji bisa melihat apa yang membuat makhluk melata ini
mengagumkan di mata Fanji dan juga bagi Rob Bredl, tapi kameramen yang takut
sama ular mengambil gambar dari jarak sepuluh jangkah. Ia memaksimalkan digital zoom in sampai mentok. Hasilnya?
Gambar yang absurd. Kamu melihat butir-butir serupa biji jagung berwarna tidak
jelas, kekuningan juga kecoklatan.
Ular yang malang |
Ternyata
yang di zoom in adalah giginya Fanji.
Pantesan!
Kameramen
langsung meralat. “Aduh, sori sori.” Lagi-lagi Kamu bisa mendengar ini. Kamera akhirnya
membidik gigi taring si ular sebelum wajah Fanji menjadi terlalu merah. Kali
ini cukup sukses dan telak. Gigi taring ular itu kecil, paling tidak jika
dibandingkan gigimu sendiri. Tapi jelas amat sangat tajam dan berbahaya, jauh
lebih gawat darurat dari pada giginya vampir-vampir di Twailait saga.
“Kalau
sampai anda pemirsa di rumah digigit ini ular, anda bahkan tidak akan punya
kesempatan untuk berkedip. Matahari yang anda lihat hari itu bakal jadi
matahari terakhir yang anda lihat.” Senyuman Fanji membuat bulu alismu berdiri.
Ketika
nuansa hororisme itu tengah ditebar. Lolongan seseorang meledak mendadak mengagetkan
Kamu, Kameramen, dan Fanji. “Hoi, ngapain kamu nginjak-nginjak sawahku?!!!” Itu
bisa dipastikan suara yang punya sawah yang jauh lebih horor dari pada analisis
Fanji.
Ular
sawah yang kangen berat sama pacarnya itu lepas dari genggaman Fanji. Kamera
pun jatuh dari tangan Kameramen. Kamu bisa melihat Si Kameramen, yang sekarang
sudah bukan Kameramen lagi, ia lari tersruntul-sruntul menjadi Lari-Man jauh
meninggalkan sawah, jauh meninggalkan Fanji.
Fanji
pun hendak lari, tapi gerak refleknya tertunda gara-gara takut dicium ular yang
baru lepas dari tangannya, dia terjebak lumpur sawah dan barangkali juga terlilit
doa kutukan tanaman padi yang teraniaya oleh ulahnya. Fanji jatuh bergedebum.
Terlambat sudah, terlambat sudah.
...
Lima
belas menit terakhir durasi Petualangan
Fanji pun diisi Fanji yang betul-betul bertualang menanami kembali padi di
lahan yang bagai dilanda pertempuran. Peluh Fanji bukan hanya sebesar biji
jagung tapi sebesar bonggol jagung. Sementara Si Empunya sawah gantian memegangi
kamera. Sesekali ia mengarahkan kamera ke wajahnya, memamerkan raut kemenangan,
lalu mencobai berbagai efek di kamera yang membuat matamu merana, semerana hati
Fanji hari itu. Bagi Fanji matahari hari itu seolah menjadi yang terakhir yang
bisa ia lihat.
Disklaimer:
Kisah
sesat ini tidak ada hubungannya dengan karakter sebenarnya dalam kehidupan
nyata walau sesungguhnya ada unsur kebetulan yang disengaja dalam kenyataan
pahit ini.
0 komentar:
Posting Komentar