Jadi Saksi Persidangan Cerai

16.41.00 jino jiwan 0 Comments


Mungkin akibat menonton serunya sidang sengketa Pilpres 2019 dan sidang kopi sianida Mirna-Jessica (2016) yang sama-sama ditayangkan di tv aku membayangkan kalau jadi saksi sidang cerai juga akan rumit, berbelit, dan makan waktu. Tapi ternyata prosesnya ringkas dan singkat.

Iya, aku diminta jadi saksi sidang gugatan cerai yang dilayangkan kerabat dekatku atas istrinya yang dinikahinya belum ada 2 tahun ini. Ironisnya tak lain aku sendiri adalah saksi mereka saat akad nikah. Dulu aku bilang, “sah!” sekarang bilang, “Pak hakim, mereka sudah tidak lagi satu rumah.”

Dari segi ruangan, ruang sidang ini jauh lebih kecil, tentu jika dibandingkan dengan ruang sidang pada umumnya, apalagi dibandingkan kasus yang kusebut di atas. Kursi yang disediakan untuk pihak berperkara hanya ada 6 buah, 2 di antaranya ditata di depan panggung para hakim.

Di atas panggung yang lebih tinggi beberapa centimeter dari lantai, meja warna coklat gelap nyaris memenuhi lebar ruang, menyisakan sedikit celah sekira 10 cm saja. Di baliknya duduk para hakim anggota dan seorang hakim ketua, juga panitera dengan komputernya.

Di belakang para hakim cuma ada satu daun pintu, satu-satunya akses mereka keluar-masuk ruang sidang. Patung Garuda Pancasila menjadi satu-satunya hiasan dinding, bertengger tanpa diapit foto pres/wapres.

Setelah diambil sumpah, seorang hakim anggota bertanya kepada kami, para saksi. Dengan kacamata bersarang pada dahinya dia memulai bertanya kepada Saksi #1 tentang mengapa kerabat dekatku ini menggugat cerai isterinya dan kronologi peristiwa-peristiwa yang berujung pada gugatan, lalu kemudian kepadaku (saksi #2). Jujur saja aku merasa tidak banyak berguna karena hanya mengafirmasi dan mengonfirmasi keterangan Saksi #1, pertanyaannya juga hanya “apa benar begitu?” Iya benar, Pak, jawabku.

Ketika dirasa sudah cukup, hakim ketua yang kelihatan letih bertanya kepada kami selaku saksi, “sudah cukup?” cukup Pak.

Sesudah itu para saksi diminta keluar dari ruangan, menyisakan kerabatku itu. Kira-kira sepuluh menit dia sudah keluar ruang dan bilang bahwa proses cerai sudah beres, dalam sebulan surat-surat juga akan kelar.

Heran juga, hari itu orang yang mengurus perceraian cukup banyak, dari pagi jam 9 hingga melebihi waktu dhuhur sudah ada lebih 15 kasus ditangani. Jika ini bukan bukti bahwa pernikahan itu bukan jaminan orang bakal hidup berbahagia apa lagi? Kurasa juga karena banyaknya orang yang sudah gak betah hidup bersama orang yang dinikahinya ini proses sidang cerai berlangsung cepat.

Hebatnya masih banyak yang meyakini pernikahan layaknya gerbang memasuki hidup berbahagia. Si kerabat dekatku ini juga berpikir begitu, orang tuanya juga begitu.

Yang penting nikah dulu, entar pasti (insya Allah) bahagia. Padahal menikah itu menyatukan bukan saja dua kepala dan hati tapi juga seluruh anggota keluarga yang dinikahi. Pernikahan tidak pernah mudah, tidak berhenti di resepsi dan foto-foto. Melainkan terus menemukan lalu sanggup menerima perbedaan-perbedaan. Kalau tidak siap dan terlalu mengidealkan pernikahan sebagai tujuan akhir hidup ya gitu deh, berakhir di pengadilan agama.

0 komentar: