Jadi Saksi Persidangan Cerai
Mungkin akibat menonton
serunya sidang sengketa Pilpres 2019 dan sidang kopi sianida Mirna-Jessica (2016)
yang sama-sama ditayangkan di tv aku membayangkan kalau jadi saksi sidang cerai
juga akan rumit, berbelit, dan makan waktu. Tapi ternyata prosesnya ringkas dan
singkat.
Iya, aku diminta jadi saksi
sidang gugatan cerai yang dilayangkan kerabat dekatku atas istrinya yang dinikahinya
belum ada 2 tahun ini. Ironisnya tak lain aku sendiri adalah saksi mereka saat akad
nikah. Dulu aku bilang, “sah!” sekarang bilang, “Pak hakim, mereka sudah tidak lagi
satu rumah.”
Dari segi ruangan,
ruang sidang ini jauh lebih kecil, tentu jika dibandingkan dengan ruang sidang pada
umumnya, apalagi dibandingkan kasus yang kusebut di atas. Kursi yang disediakan
untuk pihak berperkara hanya ada 6 buah, 2 di antaranya ditata di depan panggung
para hakim.
Di atas panggung yang lebih
tinggi beberapa centimeter dari lantai, meja warna coklat gelap nyaris memenuhi
lebar ruang, menyisakan sedikit celah sekira 10 cm saja. Di baliknya duduk para
hakim anggota dan seorang hakim ketua, juga panitera dengan komputernya.
Di belakang para hakim cuma
ada satu daun pintu, satu-satunya akses mereka keluar-masuk ruang sidang. Patung
Garuda Pancasila menjadi satu-satunya hiasan dinding, bertengger tanpa diapit
foto pres/wapres.
Setelah diambil sumpah,
seorang hakim anggota bertanya kepada kami, para saksi. Dengan kacamata
bersarang pada dahinya dia memulai bertanya kepada Saksi #1 tentang mengapa
kerabat dekatku ini menggugat cerai isterinya dan kronologi peristiwa-peristiwa
yang berujung pada gugatan, lalu kemudian kepadaku (saksi #2). Jujur saja aku
merasa tidak banyak berguna karena hanya mengafirmasi dan mengonfirmasi
keterangan Saksi #1, pertanyaannya juga hanya “apa benar begitu?” Iya benar,
Pak, jawabku.
Ketika dirasa sudah cukup,
hakim ketua yang kelihatan letih bertanya kepada kami selaku saksi, “sudah cukup?”
cukup Pak.
Sesudah itu para saksi
diminta keluar dari ruangan, menyisakan kerabatku itu. Kira-kira sepuluh menit
dia sudah keluar ruang dan bilang bahwa proses cerai sudah beres, dalam sebulan
surat-surat juga akan kelar.
Heran juga, hari itu orang
yang mengurus perceraian cukup banyak, dari pagi jam 9 hingga melebihi waktu dhuhur
sudah ada lebih 15 kasus ditangani. Jika ini bukan bukti bahwa pernikahan itu bukan
jaminan orang bakal hidup berbahagia apa lagi? Kurasa juga karena banyaknya orang
yang sudah gak betah hidup bersama orang yang dinikahinya ini proses sidang
cerai berlangsung cepat.
Hebatnya masih banyak yang
meyakini pernikahan layaknya gerbang memasuki hidup berbahagia. Si kerabat
dekatku ini juga berpikir begitu, orang tuanya juga begitu.
Yang penting nikah
dulu, entar pasti (insya Allah) bahagia. Padahal menikah itu menyatukan bukan saja
dua kepala dan hati tapi juga seluruh anggota keluarga yang dinikahi. Pernikahan
tidak pernah mudah, tidak berhenti di resepsi dan foto-foto. Melainkan terus
menemukan lalu sanggup menerima perbedaan-perbedaan. Kalau tidak siap dan terlalu
mengidealkan pernikahan sebagai tujuan akhir hidup ya gitu deh, berakhir di
pengadilan agama.
0 komentar:
Posting Komentar