Imajinasi Pedesaan di Kampung Mina Padi

01.16.00 jino jiwan 0 Comments


Sore hari di musim kemarau adalah waktu paling menyenangkan. Anti mendung, tiada hujan, iklimnya hangat pula. Di daerah Jogja utara masih ketambahan udara sejuk, terlebih kalau kamu mengunjungi desa wisata yang belakangan semakin trending saja, thanks to the rise of narcism on social media. Semua orang ingin menunjukkan bahwa diri merekalah yang paling unggul jumlah katalog travelingnya.

Mungkin, mungkin ya. Kalau kamu termasuk penikmat desa. Monggo monggo menyambangi desa wisata satu ini. Namanya Kampung Mina Padi. Berada di dusun Samberembe, kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta, letaknya di sisi timur dari dusun, diapit persawahan, di pesisir kali Boyong.

Jalan di depan Kampung Mina Padi, Perhatian: lokasi tidak di pinggir jalan besar.
Dinamakan “kampung” dan bukannya “desa” tak lain karena ia bukan desa dalam pengertian adminsitratif, melainkan suatu kawasan imajinatif pedesaan. Tau sendiri kan, semacam ruang khusus yang disediakan untuk pelancong modern agar dapat merasakan sesuatu yang barangkali lama mereka rindukan. Sesuatu yang mereka merasa kehilangan.

Penampakan gerbang depan Kampung Mina Padi

Kehilangan apa itu? Insting alamiah laten manusia yang, ingin memandangi sesuatu yang ijo royo-royo yakni sawah. Diiringi alunan gemericik air sungai yang mengalir ke kolam ikan, hembusan lembut angin beraroma lumpur sawah, dan sebongkah gunung di kejauhan.

Kira-kira seperti itulah gambaran Kampung Mina Padi. Berusaha menggodamu untuk kembali ke desa, kembali ke kehidupan bercocok tanam, jadi petani.

Sign System yang mencoba membangkitkan jiwa agraris masa lampaumu
Penampakan calon petani milenial
Jodohku Anak Pak Tani, bisa jadi judul FTV yang bagus
Sekilas informasi yang kuperoleh, pemrakarsa proyek ini adalah seorang petani bernama Timbul yang rumahnya berdiri tepat di seberang jalan Kampung Mina Padi. Tidak mengherankan jika dia kemudian ingin mempromosikan pekerjaan petani. Yang kita sama-sama tahu profesi ini dikenal masih banyak pahitnya. Setidaknya dalam berita di media massa, di mana harga jual dari apapun yang mereka tanam kerap tidak sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan.

Kail dan jala bisa menghidupimu?

Dengan luas 3 hektar, kampung ini didominasi kolam yang jumlah ikan(nila)nya mungkin mencapai ribuan ekor, dilengkapi dengan arena yang hari ini kita kenal dengan outbond. Tak ketinggalan tentu sawah, sawah, dan sawah dengan tanaman padi yang tumbuh begitu rimbun nan subur. Lokasi yang sungguh menyejukkan hati. Pas buat warga urban melepas penat dari ruwetnya pikiran.

platform buat melatih kekompakan (konon katanya)
Tapi bukan hanya itu, ia juga seperti yang sudah kusebut sekilas, mewakili imajinasi pedesaan. Imajinasi pedesaan ini di/membentuk gambaran dan konsep mental yang mendahului realitas, yakni pedesaan yang ideal. Ideal menurut industri wisata kekinian.

Ini makanya desa biasa yang dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa strategi kebudayaan tidak akan menarik di mata pelancong. Karena bahkan gambaran desa yang ijo royo-royo, dll. itu sudah mulai jarang dijumpai di desa pada umumnya.

Di Kampung Mina Padi ini imajinasi pedesaan dilekatkan—mungkin kamu sudah bisa baca di atas—pada pertanian, sehingga teknik pertanian yang sebenarnya modern menyaru seolah tradisional di saat bersamaan. Sehingga selain muncul kesan klasik bahwa pertanian=pedesaan (dan sebaliknya), juga muncul bahwa bertani=kembali ke tradisi asali yang sederhana, padahal secara terang-terangan kampung ini tidak sungkan memamerkan papan-papan bertuliskan jenis bibit unggul bersponsor.

Dilihat dari rimbun dan sehatnya padi ini, perawatannya pasti serius dan berbujet tinggi

Jadi pelancong tidak hanya mendapat udara segar, keeksotisan desa, dan yang pasti foto-foto untuk dipamerkan di Instagram, tapi sesungguhnya mereka juga beroleh pengetahuan bahwa kini jadi petani sudah jauh lebih mudah, semua berkat teknologi pertanian modern: bibit unggul yang orientasinya adalah produksi.

Maka pada ujungnya tanpa disadari apa yang awalnya hanya imajinasi tentang desa, sedikit-sedikitlah pasti mampu menyemai (kita pakai istilah tani) persepsi, opini, dan perilaku atas pertanian.

Dapat bantuan internasional! Jujur aku iri kenapa dusunku tidak mengembangkan diri juga seperti ini.

Lalu apakah pengunjung atau lebih tepat pelancong lantas ingin beralih diri jadi petani? Kalau aku sendiri sih lebih menjadikannya sebagai pengalihan sementara dari kemonotonan kerjaan…eskapisme, untuk kemudian balik lagi ke pekerjaan tetap. Tapi setidaknya upaya kampung Mina Padi menonjolkan ke-petani-annya ini layak diapresiasi. Maka mari kita nantikan beberapa tahun dari sekarang akankah jumlah petani meningkat?

Everything is dildo if you brave enough

Catatan:
Konsep Imajinasi dibantu dari bukunya Tedjoworo – Imaji dan Imajinasi

0 komentar: