Catatan Selama Masa Pandemi Coronavirus Maret 2020
Ketika
mulai terdengar gaung virus Korona Baru ini di China (atau Tiongkok?) sekira pertengahan
Januari 2020 aku tidak pernah menganggapnya betul-betul sebagai ancaman serius.
Bahkan tidak di saat WNI dari Wuhan dipulangkan ke Tanah Air pakai pesawat Batik Air. Aku masih nyantai aja. Di saat
ada gelombang ke-parno-an orang-orang yang cemas jika harus naik Batik Air. Aku mengentengkan dengan bilang,
gak mungkin virus hidup tanpa host di
benda mati macam kursi pesawat. Juga di kala orang-orang panik membeli hand sanitizer dan masker dari apotek. Tapi
semua berubah sampai ia merebak di Iran, di mana ada video seseorang yang
diduga terkena penyakit akibat virus ini (yang kemudian disebut covid-19)
terkapar di jalanan umum. Ini serius saudara-saudara!
Gerbang masuk ke kampung rumah kosan yang sudah dipasangi spanduk covid-19 |
Meski begitu aku cukup kesal dengan kawan satu kantor yang terkesan meremehkannya. Entah dengan niatan bercanda atau tidak (terutama karena dia ini orang yang selalu serius dan sekali bercanda sama sekali jayus). Dia bilang “justru kita harus minta supaya kebagian juga. Kita ini gak boleh terlalu mencintai dunia.”
“Excuse me, but what the fuck?!”
Rasa-rasanya
aku pengen gitu menapuk congor belagu
bin songongnya itu. Ini gak ada
hubungannya dengan cinta dunia atau takut mati. Tapi soal bagaimana cara
kamu mati agar tidak ikut bikin susah orang di sekitarmu, Cuk! Kalo kamu mati ya gak apa-apa tapi jangan bikin orang lain
susah dan gak usah sok kayak paling gak cinta dunia.
Dan kalo
kamu menebak bahwa dia ini termasuk orang kategori gelombang Islamisasi baru. Maka
jawabannya adalah IYA. Selain kerap berceramah ke aku soal betapa orang-orang belakangan
lebih cinta dunia, dia juga masuk golongan anti-vaksin, tidak percaya
pendaratan manusia di bulan, dan mungkin juga percaya bumi datar (yang ini unconfimed).
Lagian
aneh, wong punya anak dan istri, kok malah
pengen mati. Justru kalo punya anak dan istri ya pengen hidup terus untuk mencukupi
kebutuhan mereka, pengen melihat mereka bahagia, pengen lihat anak-anak tumbuh
besar lalu menikah. Itu kan namanya gak tanggung jawab, mau lari dari kenyataan
biar langsung dapat surga. Hidup ini anugerah yang harus dimanfaatkan untuk beribadah
dan satu-satunya cara beribadah (ibadah sendiri ada pelbagai jenis) adalah dengan
tetap hidup. Jadi yang kalo pengen tetap hidup tidak lantas sama dengan takut
mati dan cinta dunia. Heran deh, suka kesel sama orang yang membelah dunia dan
akhirat seolah keduanya adalah hal yang terpisah jauh dan gak ada hubungannya.
Ahh
sudahlah, kembali ke Novel Coronavirus alias SARS-CoV-2. Sejak diumumkan kasus
positif pertama di indonesia awal Maret 2020, jumlahnya terus menanjak. Dalam sebulan
sudah langsung 1200-an orang. Dan awal April sudah tembus 2000 orang dengan 190
orang meninggal. Dampaknya perkuliahan di kampus tempat aku mengajar di
Bojonegoro jadi ikutan tersendat tanpa kejelasan. Tatap muka ditiadakan, tugas
dan kuliah diberikan via online.
Kegiatan orang-orang yang masih rajin ke kampus: mengecat |
Kuliah online juga tidak mudah. Mahasiswa terkendala paket data yang tidak bisa dibilang murah apalagi kalo dipaksain kuliah via video conference (misalnya pake zoom.us). Mereka ini aja sudah kesulitan membayar SPP, makanya menurutku gak bijak jika diwajibkan. Akibatnya hingga aku mengetik tulisan ini, kuliah lewat konferensi video baru kulakukan sekali, itupun hanya 3 orang mahasiswa yang bisa berpartisipasi. Sehingga kuliah aku berikan via grup WA dan Google Classroom.
Media sosial
(terutama grup WA) pun juga media massa arus utama (terutama Detik dan Tirto) turut berperan memperburuk peredaran informasi soal Covid-19.
Masing-masing kayak ngerasa paling penting dan benar. Mengomentari sikap
politisi, rame mendorong lockdown kayak
ngerti konsekuensinya terhadap perekonomian. Belum lockdown aja sudah payah seperti ini situasinya. Setiap kampung (termasuk
dusunku di Jogja) berupaya mengisolasi diri, bikin portal, bikin spanduk lockdown, cermin dari kecemasan buah
dari buramnya informasi, informasi yang saling bertabrakan dan bersilangan.
Suasana depan dusun Bulus Lor saat "lockdown" |
Soal masker yang awalnya beredar bahwa“Yang pake masker hanya yang sakit dan hanya tenaga medis.” Btw, sekarang disebut nakes, singkatan tenaga kesehatan. Tapi kemudian beredar informasi resmi dari CDC (badan pencegah penyebaran penyakit-nya Amerika Serikat) yang merekomendasikan supaya orang yang terlihat sehat juga perlu pakai masker karena orang yang sudah terkena coronavirus ini tidak menunjukkan gejala.
Selanjutnya
soal coronavirus yang tidak tahan cuaca
panas, sehingga orang disarankan berjemur minimal 10 menit di atas jam 10
pagi sampai jam 3 sore. Informasi yang terlanjur dipercaya oleh masyarakat, pemilik
warung langgangan jadi ikutan sering jemur kasur. Informasi ini disebar oleh
media massa besar (Kedaulatan Rakyat)
tapi lalu dibantah oleh Detik, yang bilang
bahwa belum tentu virus mati karena cuaca panas. Kita belum tahu apa-apa soal
coronavirus ini. Ah shit.
Suasana ketika ada penyemprotan karbol di kampus |
Soal jelang bulan puasa dan Lebaran juga tak jauh dari runyam. Kereta Api Indonesia membatalkan jadwal perjalanan dari kota-kota besar, Jakarta dan Surabaya ke arah Jogja dan Solo. Tapi kemudian pemerintah bilang tidak akan melarang warganya mudik ke kampung halaman, asal tetap isolasi mandiri 14 hari, tapi tetap menyarankan supaya orang tidak mudik, tapi ya itu tadi, gak akan dilarang. Membingungkan? Sebetulnya tidak karena yang dilakukan pemerintah macam reverse psychology. Silakan pulang, tapi gak ada kendaraan favoritmu (yaitu kereta), dan kamu harus mengurung diri begitu sampai sana. Sucks!
Sholat
Jumat mulai ditiadakan di masjid “resmi” Muhammadiyah di Bojonegoro. Tapi toh tetap
ada sholat fardhu berjamaah, jadi sebenarnya sama aja. Mbok sekalian jumatan, dhuhurnya juga gak dikasih jarak antar
jamaah. Di Kabupaten Bojonegoro sendiri memang jumlah pasien positif Covid-19 sementara
ini (semoga seterusnya) masih 0 (nol). Ada yang meninggal sih tapi statusnya masih
PDP, ODP-nya ada tapi gak banyak. Mereka adalah orang-orang yang baru datang dari
Bali, entah berwisata atau kerja.
Nah, kalo ini adalah analisis yang melampaui kenyataan dari seseorang yang kukurimi foto makan malamku. Aslinya itu bukan oseng tempe tapi keong, itu bukan sayap goreng tapi tempe goreng. |
Aku juga
mulai kesulitan cari makanan. Warung makan favorit ikutan tutup. Sebagai seorang
perantau yang masih ngekos ini cukup merepotkan. Yang ada hanya warung
langganan dekat kos yang menunya seadanya banget, manut si ibunya masak apa ya
itu menunya. Untung aku juga orangnya gak rewel soal makanan, adanya apa ya itu
yang kumakan. Mungkin ini salah satu keunggulanku kalo mau survive melewati
pandemi coronavirus ini.
Ya Allah
aku mohon agar pandemi ini segera berakhir.
0 komentar:
Posting Komentar