Merapi 5 Tahun Lalu bag 2
Siapa yang menyangka Merapi mampu segarang ini? Di hari pertamanya saja Mbah Maridjan direnggutnya. Siapa pula yang salah jika bencana
alam menimpa? Alamkah? Tuhankah? Atau manusianya? Manusia “modern” hari ini nyatanya
mengalami keterputusan dengan sejarah alamnya sendiri. Mengira teknologi murahan
bisa melampaui alam. Yang kubicarakan adalah tivi dan semua tayangannya yang sok
mau peduli padahal menjadikan kesusahan orang lain tak lebih sebagai pajangan berulang-ulang
demi bisa dijual, dijual supaya banyak orang menontonnya, supaya banyak iklan yang
masuk dalam lingkaran “breaking news”
tanpa akhir. Di saat berita-berita di tivi tidak dapat diandalkan, tidak bisa
dipercaya, dan tak lebih dari cerita sensasional, orang biasa hanya bisa percaya
pada nalurinya. Naluri untuk hidup.
30 Oktober 2010 (Sabtu)
Dini hari jam setengah 3 aku
terbangun. Agak blank, efek dari tidur
yang gak dimaksudkan tidur alias ketiduran. Lampu menyala di ruang tengah.
Bapak Ibu pakai masker memantau layar tivi. Aroma belerang kencang berembus,
mungkin karena bau ini aku terbangun. Tetangga-tetangga pada terjaga. Mereka
sudah bersiap mengungsi jika keadaan kian gawat. Mas Mar, tetangga kami yang
juga masih saudara datang ngajak ngungsi ke tempat Bude Nah di daerah Sedan.
Aku pun siap-siap juga, baju, charger
hape dan kamera semua masuk tas. Siap untuk berangkat.
Merapi erupsi lagi jam
00.12-00.30 tadi. Repoter Metro Tv, Lalita yang berjilbab itu menceritakan
bagaimana tangannya melepuh sesudah memegang ‘tepung’ abu gunung. BPPTK
memperkirakan jarak luncuran awan panas dapat mencapai 10 km. Itu jarak yang
cukup jauh. Artinya akan ada lebih banyak korban.
Ibu bilang abu di luar tebal.
Aku lihat ke belakang rumah, hujan abu masih turun, abu putih kecoklatan
terlihat menumpuk kira-kira 0,5-1 cm. Belum pernah sebelumnya seperti ini. Iseng
aku menyendoki abu Merapi di pekarangan, menyimpannya dalam kantong plastik
untuk kenang-kenangan.
Abu Merapi bisa juga untuk narsis (30 Oktober 2010) |
Hari itu kami tidak jadi
ngungsi. Keadaan masih bisa dibilang normal.
Setelah matahari muncul warna
putih kecoklatan terlihat bertebaran di mana-mana di sekitar rumah dan masjid
dekat rumah. Abu menutupi hampir semua dedaunan yang ada. Ketika angin bertiup abu
itu akan terbang tak karuan. Pakai masker jadi wajib hukumnya. Merapi di utara
sana tidak tampak sedikitpun. Langit pun hanya putih semi kelabu, tapi itu bukan
jenis mendung yang menyimpan hujan.
Mbah Dasih tetangga desa menyebrangi abu (30 Oktober 2010) |
Dengan motor aku “jalan-jalan” mengitari
Pakem lalu ambil ke barat kemudian ke selatan ke jalan Palagan Tentara Pelajar mengamati
separah apa hujan abu yang terjadi. Jalanan memutih dengan hanya menyisakan
sedikit yang tidak tertutup abu. Ingin aku mengambil gambar tapi aku masih sayang
kameraku. Aku tak mau kameraku kemasukan partikel abu yang bisa saja merusak lensa
atau bagian dalamnya.
Di jalan ada warga yang
mengalirkan air dari sungai kecil ke jalan. Mereka bergotong royong
membersihkan tumpukan abu dari jalan. Biasanya hujanlah yang melakukan
pekerjaan ini, tapi ia tidak turun hari itu.
Kendaraan yang melintas
(terutama truk) membuat abu berlarian tapi sekaligus menyibak jalan aspal dari
abu. Setiap kali ada truk lewat aku akan pelan-pelan dan menepi. Untungnya aku
pakai masker tiga lapis. Masker ini pada awalnya cukup membantu namun hanya
30-an menit naik motor aku sudah mulai agak puyeng. Tak tahu pasti apa
penyebabnya, kurasa itu karena saking banyaknya abu yang terhampar. Belum lagi
mata ini sering kelilipan biarpun sudah pakai helm berkaca. Suasana parah dan
udara yang panas memaksaku balik pulang.
Erupsi Merapi tanggal 1 November 2010. Foto diambil dari sebelah rumahku |
3 November 2010 (Rabu)
Kerjaan Kritik DKV selesai
jelang maghrib, pas berita Merapi sedang heboh-hebohnya. Radius daerah bahaya
diperluas jadi 15 km dari puncak gunung setelah sebelumnya 10 km.
4 November 2010 (Kamis)
Sore itu jam 4 suara gemuruh
“glodak-glodak” terdengar dari arah utara. Mirip suara petir tapi terus menerus
dan makin lama makin santer. Aku tidak tahu suara apa itu. Aku menyimpulkan itu
suara banjir lahar dingin yang sangat dahsyat melewati beberapa kali yang
berhulu di Merapi. Mungkin banjir ini membawa batu-batu besar yang saling
bertumbukan sehingga menimbulkan seperti itu.
Sekali lagi kami bersiap
mengungsi. Kembali aku berkemas, memasukkan baju dan segala sesuatu ke dalam
tas. Jantungku berdegup kencang. Tentu saja aku takut kalau banjir lahar dingin
sampai menjebol beteng (tanggul) yang membentengi dusun dari kali Boyong. Aku
ikut termakan cemasnya Ibu hari itu. Seorang teman adikku yang tinggal di kota
sempat menanyakan “suara apa itu dari atas sana?” (rupanya suara
“glodak-glodak” tadi terdengar hingga kota). Dan tak seorang pun yang tahu
pasti itu suara apa.
Toh, setelah kami melihat
sendiri keadaan dam di utara dusun dan jembatan di selatan dusun tidak tampak
banjir lahar yang besar. Banjirnya masih kategori biasa belum sedahsyat tahun
1997. Jadi kami bisa tenang untuk malam itu. Setidaknya sampai mendengar rumor
jembatan di Pulowatu (sebuah desa di utara) hancur akibat banjir lahar.
Malam itu listrik menyala setelah
sempat padam dari sore. Kami duduk di depan tivi, berpindah dari Metro ke TvOne
dari TvOne ke Metro tapi tak mendengar berita yang berarti. Tak ada berita tentang
jembatan yang ambrol.
...
Esoknya, dini hari tanggal 5
November erupsi terbesar terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar