Gadis Bakso
Pembaca yang budiningsih
(“budiman” sudah terlalu mainstream).
Berikut ini adalah cerita mengenai cinta, kasih, dan pengorbanan manusia. Cinta
bukan hanya timbul dari sepasang kekasih (baik hetero maupun homo). Cinta pun
bisa pada makanan. Kadang bahkan kecintaan pada makanan bisa mengubah jalan
hidup seseorang. Cerita ini diinspirasi dari orang-orang nyata yang barangkali
berada di dekat anda, cobalah tengok kisaran anda. Harapanku sebagai pengetik,
semoga pembaca yang budiningsih tidak beroleh hikmah apapun dari kisah ini.
...
Tersebutlah seorang gadis yang
hidup di tengah kepadatan kota di antara sesaknya tetumbuhan beton-beton.
Namanya tidak diketahui namun orang-orang mengenalnya dengan sebutan “Gadis
Bakso” karena gadis ini pencinta bakso dan makan bakso setidaknya setiap dua
hari sebanyak enam porsi.
Berlawanan dengan hobinya
terhadap bakso, wajahnya justru bergelimang cahaya dan termasuk manis pada
zamannya. Barangkali ini disebabkan sejenis minyak dari bakso yang keluar dari
setiap pori-pori wajahnya, minyak itulah yang melumasi sekujur wajah dan membuat
sinar matahari memantul. Dengan begitu wajahnya pun bercahaya.
Gadis Bakso menurut tafsir seorang ilustrator |
Pada suatu hari Gadis Bakso
datang ke warung langganannya, “Warung Bakso Bawang Uleg” yang terletak di
pengkolan jalan lingkar kota. Perutnya tengah bergemerincing saking laparnya.
Sudah tiga hari ini dia tidak makan (bakso). Tapi betapa kecewanya dia
mendapati warung bakso itu tutup.
“Aduuhh...kok tutup ya?” Gumam
Gadis Bakso. Kamu bisa mendengar suaranya biarpun mulutnya mengatup karena aslinya cerita ini adalah naskah FTV
yang gagal dibuat. “Ah, kali aja warung bakso Pak Brewok buka. Ke sana ah.”
Gadis Bakso melangkah dengan hati riang seperti raut mukanya yang selalu disetel
ceria itu. Setibanya di depan warung bakso Pak Brewok, dia terdiam dan
bermenung. Warung itu juga tutup.
Tiba-tiba...
Seseorang menabraknya. Gadis
Bakso terdorong, ia terjerumus ke trotoar yang berlubang. Bajunya jadi belepotan
air selokan yang mambu bukan kepalang.
“Aduuhh...eh,
astaghfirullah...innalillah...” Gadis Bakso berusaha bangkit tapi selokannya
lebih dalam dari tinggi tubuhnya.
Seorang yang menabraknya
ternyata adalah seorang laki-laki berbadan tegar. Perawakannya bagai laki dari
Bima, eh...maksudku seperti Bima karena dadanya lebat berbulu, tanda seorang
lelaki jantan.
“Kamu diem di situ kok gak pake
mata?!” hardik laki yang seperti Bima itu dengan nada tinggi. Dari dalam
selokan Gadis Bakso hanya melihat siluet. Laki yang seperti Bima mengulurkan
tangannya untuk menolong Gadis Bakso. Tapi Gadis Bakso tiada menyambut. “Kenapaa?!”
“Saya,...kita bukan muhrim...”
Gadis Bakso menunduk.
Saat itu juga laki yang seperti
Bima itu tertegun. Baru kali ini selama hidupnya ada gadis yang seperti ini.
Sudah keadaannya terdesak tapi masih mampu menjaga diri. Laki yang seperti Bima
itu segera memakai sarung tangan sepeda motor. Diulurkannya sekali lagi kedua
tangannya. Kali ini tangannya disambut. Gadis Bakso pun diangkatnya keluar dari
selokan. Seketika itu juga dia terpesona dengan wajah Gadis Bakso yang bermandi
cahaya...meskipun bau selokan.
“Aku dikenal sebagai Pria
Tongseng karena aku suka makan tongseng, siapa namamu? Sudah menikah belum?” nada
suara laki yang mengaku bernama Pria Tongseng mendadak terdengar lunak nan lembut.
Pertanyaan yang serba ada
apanya membuat Gadis Bakso bertingkah seperti kucing Persia dilempari ikan asin
murahan, malu-malu tapi mual. “Nama saya Gadis Bakso, jangankan menikah...pacaran
saja belum Mas...” jawab Gadis Bakso dengan nada getir.
“Jadi kamu Gadis Bakso yang
terkenal itu?”
Gadis Bakso hanya mengangguk
sambil menundukan pandangan mengulum senyum.
“Maaf tadi aku nabrak kamu.”
Pria Tongseng menoleh, di dapatinya warung bakso Pak Brewok tutup. “Kamu lagi
mau nyari bakso ya?”
Lagi Gadis Bakso hanya
mengangguk sambil tetap menundukan pandangan mengulum senyum.
“Emang kamu belum dengar? Harga
daging sapi kan lagi mahal. Mereka gak pada kuat beli daging sapi. Jadi
semingguan ini mereka pakai daging tikus atau celeng atau semacamnya, aku gak
yakin...karena ketahuan mereka pun digerebek warga.” Pria Tongseng mengatakan
itu semua seolah tanpa dosa.
Demi mendengar kenyataan itu Gadis
Bakso hanya menggeleng sambil tetap menunduk, tapi kali ini senyumnya pudar.
Perutnya mendadak bergemuruh, gemuruh itu naik ke dada. Ia berusaha menahan
gejolak itu tapi gagal, di tambah aroma selokan yang di sekujur bajunya kian
tajam saja menusuk hidung. Jadilah ia menyemburkan muntahan mengeluarkan
sisa-sisa bakso dari tiga hari lalu yang telah diolah dalam perut. Muntahan itu
mengucur deras menyerbu dada bidang Si Pria Tongseng.
Kini giliran baju dada celana Pria
Tongseng yang belepotan. Belepotan serpihan mungil bakso tiga hari lalu yang
mendekam di usus Gadis Bakso. Ujudnya sudah kehijauan dan berlendir. Aromanya
segar, khas muntahan yang diperam lama.
Sisa muntahan berwarna
keputihan mengalir di sudut bibir Gadis Bakso. Dia bahkan tidak berusaha
menyekanya. Pria Tongseng yang tadi niatnya mau mentraktir semangkuk tongseng
pun jadi kehilangan selera. Tanpa berkata sepatah kutukan pun Pria Tongseng
balik badan dan berlari sekencangnya menuju kosnya sambil berharap akan
menabrak gadis lainnya, Gadis Soto, Gadis Gado-gado, atau Gadis Mi Afuy
barangkali, kita tidak tahu pasti.
Demikianlah, mereka pun hidup menempuh
jalan masing-masing dan bahagia selama-lama-lamanya. Mereka lalu berjalan
menuju matahari tenggelam yang berwarna jingga dengan pasangannya masing-masing.
Musik yang indah pun mengalun syahdu seiring tulisan SEKIAN yang muncul di
layar komputermu. Petualangan Gadis Bakso (Insya Allah) masih akan berlanjut.
Menjelajahi dan menyambangi setiap warung-warung bakso yang berdiri di dekat
kos atau rumahmu. Nantikan hikayat Gadis Bakso #2.
...
Cerita ini fiktif belaka. Bila
terdapat kemiripan dan kesamaan dengan orang-orang di kehidupan nyata di
sekitar anda, hal tersebut (mungkin bukan) kebetulan semata wahai pembaca yang
budiningsih.
Jino Jiwan
Jino Jiwan
3 komentar:
Posting Komentar